Thursday 29 November 2012

Perjalanan Ke Salah Satu Daerah Tambang di Kalimantan Selatan II

Jika pada cerita sebelumnya di Perjalanan ke salah satu daerah tambang di Kalimantan Selatan saya tidak menceritakan lebih detil tentang lokasi tambang tersebut karena akses saya yang terbatas. Nah, di tulisan kali ini saya coba menambah sedikit cerita dan gambar, karena kebetulan saya dapat tawaran untuk ikut ke salah satu lokasi dekat penggalian dan workshopnya.

Sebelumnya, saya akan ceritakan bagaimana saya berangkatnya terlebih dahulu.

Sudah lama saya tidak mengunjungi lokasi ini dikarenakan kesibukan dan hal lainnya. Akhirnya setelah bertemu dengan sang klien, timbul kewajiban untuk mengunjunginya. Pada hari Sabtu kemarin (24 November 2012) saya memutuskan berangkat ke Banjarmasin menggunakan pesawat Citilink. Kenapa Citilink? Karena pada waktu itu hanya pesawat ini yang termurah, pelit ya? hahahahah... Pesawat dijadwalkan berangkat jam 12.35 dari Jakarta dan sampai kurang lebih jam 15.30 waktu lokal, estimasi perjalanan darat lanjutan menggunakan taxi 3-4 jam, maka saya akan sampai kurang lebih jam 18-19 di camp.

Jika menurut orang beriman ada slogan: "Manusia berencana, Tuhan yang menentukan", maka sebagai orang yang kurang beriman slogan tersebut saya modifikasi sedikit: "Manusia berencana, manusia lain yang menentukan". Dan hal tersebut menimpa saya, menurut perhitungan pada umumnya hari sabtu itu lebih macet daripada hari-hari sebelumnya, terlebih malam sebelumnya Jakarta dilanda banjir di sebagian besar wilayahnya. Antisipasi macet dan sisa banjir semalam, maka saya berangkat jam 8 pagi dari rumah orang tua saya di Taman Mini. Ternyata antisipasi saya salah, perjalanan dari Taman Mini ke Bandara hanya memakan waktu 1 jam (dari waktu perkiraan 2 jam). Nah, di sinilah penderitaan akibat manusia lain yang menentukan dimulai, tiba-tiba sekitar jam 10 saya mendapat sms dari maskapai bahwa penerbangan dirubah jadwalnya hingga pukul 14.20. Wah, telat 2 jam batin saya. Beruntung saya membawa laptop dan sebuah smartphone yang bisa di tether, jadi menunggu 2 jam tidak membosankan karena sambil chatting dengan istri. Lebih dari 14.30 tidak ada kabar bahwa pesawat siap berangkat, penumpang lain sudah mulai resah, termasuk saya yang sudah mulai kehabisan batere laptop dan smartphone. Kompensasi berupa makanan berat sudah didatangkan dan para penumpang sudah terlihat tenang dengan santapannya masing-masing. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 tapi tidak ada tanda-tanda pesawat tiba. Penumpang yang tadinya gelisah sudah pada mulai marah. Entah kenapa tiba-tiba terbentuk suatu solidaritas spontan, untuk menuntut kompensasi tunai sebesar Rp. 300.000 (sudah menjadi kewajiban maskapai apabila terlambat lebih dari 4 jam selain karena faktor cuaca, maskapai wajib mengganti rugi sebesar Rp.300.000). Sambil menunggu saya membaca berita terkait keterlambatan citilink di kompas.com. Penumpang Surabaya menuju Jakarta sehari sebelumnya yang terjebak keterlambatan hingga 12 jam lebih malah mendapat kompensasi sebesar Rp. 1.000.000 yang diberi langsung oleh salah satu pimpinan perusahaan. Tidak seperti penumpang lain yang ingin segera diterbangkan, (bahkan ada yang ganti pesawat) saya pribadi malah berharap keterlambatannya sampai besok pagi dan mendapat kompensasi Rp. 1.000.000. Daripada mendapat Rp. 300.000 tapi saya terdampar malam-malam dan tidak ada kendaraan (taxi) untuk melanjutkan perjalanan.

Lagi-lagi itu hanya harapan, karena toh manusia lain juga yang sudah menentukan. Akhirnya setelah jam 18.00 pesawatnya pun tiba dan siap diberangkatkan. Kurang lebih hampir jam 19.00 pesawat diberangkatkan dan sampai di Banjarmasin sekitar jam 21.00 lebih. Setelah mengajukan klaim ke counter citilink, saya bermaksud untuk menginap di masjid bandara saja, karena tidak ada ruang tunggu yang bisa digunakan untuk beristirahat. Tetapi dengan pintu masjid ditutup, saya hanya bisa menggunakan teras sebagai tempat istirahat. Dengan banyaknya orang (terutama perantauan) di teras masjid dan tas yang berisi laptop yang sangat berharga isinya, beristirahat di masjid tidak menjadi pilihan yang bijaksana. Sempat mondar-mandir untuk mencari tempat istirahat yang pas, sampai akhirnya bertemu dengan penumpang lain yang tadi satu pesawat. Dia menyarankan untuk mencari penginapan saja, banyak di sekitar bandara katanya, tinggal tanya tukang ojek. Akhirnya saya ke pangkalan ojek depan bandara dan bertanya penginapan termurah yang dekat. Terjadi sebuah interaksi yang agak menjengkelkan menurut saya:

Galih: "Bang, penginapan yang murah-murah di sekitar sini di mana?"
Ojek: "Oh iya ada, yuk saya antar?:
Galih: (setengah meniru logat setempat) "Jauh kah bang?"
Ojek: "Oh jauh, ongkosnya sepuluh ribu"
Galih: (karena sudah malam dan sudah sangat ingin istirahat) "ya udah"

Berangkatlah kami menuju penginapan yang dimaksud. Eeeeeh, baru masuk gigi tiga tidak tahunya sudah sampai.

Penginapan seharga Rp. 100.000, walaupun hanya menggunakan kipas angin tapi cukup bersih, sehingga cukup nyaman untuk ditempati. Keesokan harinya saya berangkat ke camp dengan menggunakan taxi di pangkalan. Hal baru yang saya ketahui bahwa terdapat perbedaan harga dilihat dari tempat duduknya. Jika duduk di depan, sebelah supir maka ongkosnya Rp. 40.000 tetapi jika deretan tengah dan belakang maka ongkosnya Rp. 35.000.

Akhirnya sampai juga di camp. Keesokan harinya saya mendapatkan tawaran untuk ikut jalan-jalan ke lokasi Workshop yang bersebelahan dengan lokasi penggalian. Wah, asyik.. Bisa melihat kendaraan-kendaraan HD (Heavy Duty) nih, batin saya. Langsung saja saya ambil kamera dan langsung menuju ke dalam mobil tumpangan.

Lokasinya tidak jauh dari camp tempat saya menginap. Jalan menuju ke lokasi cukup besar tapi agak kurang mulus. Sepanjang perjalanan hanya terlihat bekas galian yang sudah menjadi danau, kata supir yang mengajak saya, danau tersebut cukup dalam, bahkan konon katanya ada buayanya dan banyak ular-ular berukuran besar.


Sepanjang perjalanan banyak terlihat bekas kerukan-kerukan tanah yang ditinggal begitu saja. Memang terlihat ada sedikit area hijau dengan papan tulisan area revegetasi. Tetapi tidak sebanding dengan luas area yang telah dieksploitasi sebelumnya.



Lucunya Pak Presiden kita lebih memilih area Bandara dan mengorbankan ratusan warganya (yang sedang sibuk bekerja dan lalu lalang dari dan menuju bandara) untuk sebuah acara gerakan menanam pohon yang sifatnya hanya sekedar seremonial, dibanding gerakan menanam pohon ditempat yang seharusnya lebih membutuhkan sekaligus tidak mengorbankan warganya yang siang itu sedang pada sibuk mencari nafkah. Ah, sudahlah berbicara menyangkut politik akan membuat tulisan saya menjadi tidak enak dibaca.

Oke kembali ke lokasi. Yang membuat saya senang adalah saya melihat langsung truk-truk HD yang berukuran besar dan traktor yang berukuran lebih besar pula dengan jarak hanya beberapa meter saja.




Sebuah pemandangan yang menyenangkan sekaligus menegangkan bagi saya. Ya menegangkan apabila mereka berjalan dekat-dekat dengan kita. Sebagai penggemar film Transformer, Saya membayangkan apabila All Spark dari film tersebut jatuh di sekitar daerah ini. Tidak terbayang seberapa raksasanya robot itu jadinya.

Sudah cukup berjalan-jalannya saatnya kembali lagi ke Jakarta. Saya pun kembali menuju bandara Banjarmasin dengan menggunakan taxi. Apabila anda berangkat yang kebetulan bertepatan dengan waktu jam makan siang dan anda dikejar waktu, maka lebih baik anda mencharter mobil, karena bisa saja si supir tiba-tiba berhenti di suatu tempat makan pilihannya dia sendiri, seperti yang saya alami kemarin. Baru berjalan beberapa kilometer, bahkan belum keluar dari wilayah kecamatan, tiba-tiba si supir berhenti di sebuah tempat makan. Padahal belum juga waktu makan siang, masih jam 10.45 waktu itu. Ya sudah, karena perjalanan juga makan waktu lama, tidak ada salahnya juga untuk membeli makanan daripada di perjalanan dengan perut kosong. Ada beberapa titik rumah makan yang menjadi pilihan grup supir taxi, sepertinya telah terjadi simbiosis mutulisme antara supir taxi dan pemilik rumah makan.


Untuk seporsi ayam goreng, semangkok sayur bening dan segelas es teh kemanisan Rp. 25.000 agak kemahalan bagi saya, terlebih lagi dengan tambahan 2 ekor lalat mati yang terjebak di sambel ayam goreng tersebut. Baru saja memakan beberapa suap, sang supir dan beberapa penumpang lainnya (taxi yang saya tumpangi adalah mobil putih di paling kanan) naik ke mobil bersiap untuk berangkat. Terlihat para penumpang lainnya ternyata tidak pada makan. Saya pun buru-buru menghabiskan makanan tersebut, paling tidak ayamnya saya habiskan dan langsung bergegas masuk taxi.

Sesampainya di Bandara saya sempat berharap agar pesawatnya terlambat lagi sampai 4 jam atau kalau perlu sampai besok, supaya dapat kompensasi lagi, hahahaha... Tapi ternyata pesawatnya datang dan berangkat tepat waktu. Sepanjang perjalanan di udara, cuaca cukup cerah sehingga saya bisa berkesempatan sama dengan orang-orang lain yang memfoto sayap pesawat, terlebih lagi cuaca sedang cerah.


Dan foto gedung-gedung Jakarta, terutama gedung perkantoran di wilayah Sudirman-Thamrin serta Monas yang terlihat sangat kecil dari atas langit.



Saya tidak terlalu banyak mengeksplorasi bagian-bagian bandara Soekarno Hatta, tapi diantara semua bagian Bandara tersebut, saya paling suka Fly Over khusus pesawat (sayangnya saya berada di posisi duduk yang salah sehingga foto tidak terlalu menggambarkan fly over tersebut).


Akhirnya saya pun tiba kembali di Jakarta dengan selamat.
Demikian cerita tambahan saya mengenai perjalanan saya di salah satu daerah tambang di Kalimantan Selatan.

Salam

Thursday 22 November 2012

Cerita seru di balik perjalanan ke Natuna

Setelah saya membaca ulang tulisan-tulisan saya terdahulu, terutama tulisan perjalanan ke Natuna II, rasanya kok masih ada yang kurang. Masih kurang menjelaskan kegiatan-kegiatan dan interaksi-interaksi yang terjadi selama saya di sana.

Mumpung saya masih ingat dan masih ada waktu luang untuk menceritakannya maka lebih baik saya tulis saja daripada nanti lupa.

Selama saya di Natuna kurang lebih 1 bulan, banyak terdapat cerita-cerita (yang menurut saya) lucu dan  menarik. Mulai dari hal yang berhubungan dengan masalah pribadi, rumah tangga, sosial, kuliner, dan hal-hal menarik lainnya.

1. Hal Pribadi dan masalah rumah tangga.
Ketika saya tiba di Natuna, saya langsung meminta kenalan saya di sana untuk dicarikan penginapan yang murah. Maklum, dana dari kantor (pada waktu itu) sangatlah minim dan saya tidak tahu daerah sana. Jadi saya pasrah saja oleh beliau dicarikan dimana. Maka setelah tim kami (yang berjumlah 6 orang) tiba di bandara, langsung kami diantar ke sebuah penginapan yang terletak di tepi pantai. Penginapan dengan bentuk rumah panggung tingkat yang terbuat dari kayu, yang berdiri diatas pantai. Agak kumuh sebenarnya, tapi ya demi menghemat supaya kami tidak kehabisan ongkos selama di sana. Penginapannya terdapat di lantai atas, dengan (kalau tidak salah ingat) 6 kamar dan 2 kamar mandi luar.
Kamarnya pun tidak besar, dengan ukuran kurang dari 3x4 meter dan diisi oleh 6 orang termasuk barang bawaan dan perkakas kerja, tapi kondisi tersebut tidak lama, karena sebagian besar tim akan terpencar-pencar ke wilayah lain di kabupaten Natuna.
Setelah beberapa hari tinggal di penginapan tersebut saya jadi tahu bahwa si ibu pemilik penginapan ini ternyata merupakan istri simpanan dari kenalan saya. Hal tersebut saya ketahui karena kenalan saya ini hampir setiap hari datang berkunjung, lalu berakhir ke sebuah kamar. Saya tidak ingin mencari tahu sebenarnya, bahkan saya tidak mau tahu, karena itu bukan urusan saya. Tapi namanya interaksi, pasti terjadi basa-basi sambil ngobrol ketika beli makan di tempatnya (si ibu ini juga pemilik warung makan di lantai bawah), si ibu ini bercerita bahwa sebenernya dia adalah istri simpanan dari kenalan saya. Si bapak kenalan saya ini sebenarnya sudah punya istri dan anak yang sedang kuliah di kampung halamannya. Dalam hati saya berkata: "woooh, pantesan aja si bapak ini getol banget ngarahin kami ke sini, padahal harusnya masih ada tempat lain".

Selain itu, si ibu ini punya seorang pembantu yang sedang hamil tua, ditinggal kabur suaminya kata si ibu ini. Kenapa saya harus tahu hal-hal yang seperti ini sih, gumam saya dalam hati. Secara kebetulan tepat di hari ulang tahun saya, pembantu si ibu ini terlihat gejala akan melahirkan. Saya pun diminta tolong untuk menjemput bidan. Saya pun bergegas naik motor menjemput bidan yang dimaksud, mana sudah larut malam pula, dengan jarak yang lumayan jauh, plus masih harus mengantar pulang kembali bidan tersebut. Niat awal berangkat ke Natuna untuk bekerja mencari uang, malah ikut membantu orang melahirkan, batin saya. Tapi tidak apa-apalah, saya jadi punya teman yang berulang tahun di tanggal yang sama, sekaligus ikut membantu meringankan beban orang.

Hal yang paling menarik dari penginapan ini adalah, rumah ini gampang bergoyang. Diperparah dengan kelakuan tetangga kamar sebelah. Rupanya tetangga kamar sebelah adalah seorang pemuda Jakarta yang sedang merantau dan mencoba mengadu nasib untuk berbisnis di Natuna. Sama seperti kami, dia pun mencari penginapan termurah untuk mengurangi biaya hidup. Rupanya waktu berjalan, pemuda ini kepincut dengan gadis penghibur lokal (cerita ini akan saya bahas di bawah) dan sering dibawa "ngamar" ke kamarnya. Nah, ketika aksi itu terjadi, ikut bergoyanglah seluruh bangunan ini. Lucunya, karena dinding sekat kamar hanya terbuat dari triplek, maka apa yang mereka lakukan kadang sampai terdengar di kamar kami, hahahaha...

Hal lucu lainnya adalah ketika saya dan sebagian tim saya datang ke salah satu desa yang cukup jauh dari penginapan kami. Objek pekerjaan kami adalah sebuah infrastruktur milik pemda yang dipinjamkan kepada para penduduk terpilih. Kami sebagai pelaksana otomatis hanya melakukan pekerjaan sebatas dengan daftar nama yang kami terima. Rupanya, ada salah satu penerima yang sedang dalam proses cerai, lucunya lagi si istri mengganggap bahwa objek ini merupakan bagian dari harta gono-gini dan minta untuk dibagi. Masalah ini cukup alot, bahkan sampai orang pemda datang ke desa tersebut untuk membicarakan hal tersebut bersama yang bersangkutan dan kepala desa. Tidak sopan memang menaruh nama asli yang bersangkutan dalam cerita saya ini, tapi cerita ini akan tidak seru dan tidak lengkap kalau nama yang bersangkutan itu tidak saya cantumkan. Dengan asumsi bahwa yang bersangkutan dan kawan-kawannya atau keluarganya tidak akan sampai membaca blog ini, maka akan saya sebut namanya.
Namanya adalah Raja Joni, ya cukup fantastis namanya bagi saya. Saya membayangkan dia adalah sosok, ya seperti Raja. Tapi dalam hal ini tidak, karena ternyata berdasarkan dengar sana-dengar sini (bukannya saya mencuri dengar, tapi kuping ini dengan tidak sengaja menangkap pembicaraan orang-orang pada waktu itu), si Raja Joni ini adalah suami keempat dari istri tersebut, dan mau diceraikan pula (oleh si istri). Yah, Joni.. Anda sebagai Raja dari para Joni rupanya tidak mempunyai cukup wibawa untuk menjadi seorang raja.

Lagi-lagi saya tertawa dalam hati, niat ke Natuna untuk bekerja kenapa malah jadi nonton Infotainment pedesaan begini?

2. Sosial
Penginapan yang saya tempati, ternyata bersebelahan dengan lokalisasi. Hampir setiap malam ramai oleh suara karaokean orang-orang dengan suara setengah mabuk, membuat saya sering susah tidur. Menurut cerita kenalan saya, wanita-wanita penghibur di Natuna kebanyakan "buangan", mereka yang sudah tidak laku, entah dari Batam atau Pontianak (kebanyakan dari Batam). Termasuk dengan yang sering dibawa oleh pemuda kamar sebelah tersebut.

Sepanjang pengamatan saya, mereka yang bisa membangun rumah dari tembok (bata dan semen), dipandang memiliki derajat ekonomi yang lebih tinggi, bahkan tidak jarang orang-orang desa membuat rumah yang bertembok sebagai patokan. Misalnya saja ketika saya bertanya rumah bapak X, banyak yang memberi arahan rumah beton di dekat jembatan. Saya keliling kesana-kemari mencari rumah dengan dinding tembok di dekat jembatan yang dimaksud, karena tidak kunjung ketemu saya akhirnya meminta untuk diantarkan oleh salah seorang yang lewat. Akhirnya ketemu juga rumahnya, memang betul itu jembatannya dan saya melewati jembatan itu berulang kali, tapi saya tidak melihat rumah berdinding tembok. Tapi setelah diperhatikan secara seksama, ternyata rumah itu hanya sepertiga tembok, hanya sepertiga dinding bawahnya yang ditembok, sisanya dinding kayu. Oooaalaaah, begini aja dianggap rumah beton dalam hati saya. Ada juga saya temui rumah yang dinding kayu tapi memaksakan untuk terlihat rumah beton. Ya dindingnya tetap kayu, tapi luarnya dilapisi semen.
Terkadang, perbedaan rumah beton dan rumah kayu ini bisa menimbulkan kecemburuan, apalagi jika ternyata pemilik rumah beton ini adalah pendatang yang masih belum familiar, menurut cerita-cerita biasa si pemilik rumah beton ini akan sering dicibir atau malah mungkin dijahili secara mistis.

Kecemburuan lain yang terjadi adalah ketika saya mencari rumah salah satu warga penerima objek. Saya berkeliling-keliling menanyakan tiap rumah, hasilnya saya diping-pong, kalau jaraknya dekat sih tidak masalah, sebagai informasi, di dalam desa jarak antar rumah tiap RT bisa mencapai kiloan meter dengan jalan yang susah ditempuh. Ternyata setelah saya tanya satu persatu, rumah yang saya cari malah berada tepat di belakang di rumah pertama yang saya tanya (dan memping-pong saya ke rumah yang jauh disana, sebelum akhirnya saya balik lagi ke sini).
Sialnya, waktu saya ketok-ketok rumahnya si penghuni tidak kunjung keluar, padahal pintunya terbuka dan saya melihat ada sepasang telapak yang menyembul keluar dari ruang belakang. Akhirnya setelah saya bilang kami dari pemda, barulah sang penghuni keluar dan memohon maaf karena dipikirnya kami adalah tukang kredit kain yang datang untuk menagih. Sial, sudah diping-pong begitu jauh, disangka tukang kredit pula.

Natuna merupakan daerah transmigrasi pada masa orde baru. Sebagian transmigran di Natuna cukup berkembang. Banyak transmigran yang kini jadi pemilik perkebunan karet. Menurut keterangan salah satu warga transmigran (asal Madiun, Jawa Timur, ternyata satu kampung sama saya), dahulu oleh program transmigrasi, selain diberikan rumah, juga diberikan tanah dan bibit karet untuk dikembangkan. Namun ada juga program yang belum berhasil. Melihat program karet cukup berhasil, rupanya akan dikembangkan juga program kelapa sawit. Tapi sayang, program belum terlaksana, sang pemimpin orde baru sudah keburu dilengserkan. Akhirnya banyak terlihat area hutan yang dibuka namun tidak jadi ditanami apa-apa.

3. Kuliner
Hasil laut Natuna sangat kaya dan berlimpah, bahkan saking berlimpahnya, banyak kapal nelayan dari Jawa yang datang ke Natuna, bukan untuk memancing hasil ikan, tapi untuk belanja dari nelayan Natuna. Cukup praktis dan efisien menurut saya, jadi para nelayan dari jawa tidak perlu berlama-lama mencari ikan, tinggal borong saja hasil nelayan setempat. Sama-sama untung menurut saya. Ikan pun sangat murah di sini. Saking murahnya, untuk membuat krupuk ikan, sampai diperlukan 1 kilogram ikan tongkol untuk membuat 8 rol seukuran lontong normal untuk membuat mentahan krupuk (yang kemudian diiris-iris sebelum dikeringkan). Bahkan untuk pertama kalinya saya makan masakan gurita disini. Tapi hal tersebut tidak serta merta membuat makanan di sana cukup variatif. Hampir semua rumah yang saya kunjungi selalu menyuguhi saya masakan dari mie instan, entah dimasak model apapun itu. Pernah suatu ketika saya kelaparan, melihat ada tulisan warung bakso saya pun membeli bakso untuk mengganjal perut. Bukan bakso yang saya bayangkan, tetapi hanya mie instan rasa bakso, ketika saya tanya mana bakso, si pemilik warung malah tidak tahu bakso itu apa.
Pada waktu itu sedang musim duren. Sebenarnya saya tidak suka duren, tapi apa daya banyak warga yang menyuguhkan, akhirnya saya mencoba juga. Yang paling menarik adalah variasi makan duren dicampur dengan butiran sagu kering. Rasa duren yang menurut saya aneh dan bau tajam, tertutup dengan gurihnya dan renyahnya butiran sagu kering, cukup menarik juga. Sampai pada akhirnya saya masuk UGD gara-gara makan duren. Jadi ceritanya di sebuah dermaga saya ketinggalan angkot untuk kembali lagi ke kota. Jarak dari pelabuhan ke kota hampir 100km jauhnya dan tidak ada lagi kendaraan kecuali angkot yang datang 4 jam lagi. Saat itu tidak sedang ada jadwal kapal Pelni datang, jadi pelabuhan pun sangat sepi, tidak ada kendaraan charter, ataupun orang hilir mudik. Bahkan warung makanan pun tidak buka. Harapan satu-satunya saya adalah angkot tersebut. Saya pun menumpang menunggu angkot di salah satu warung. Perut saya sudah sangat lapar sebenarnya, tapi warung tersebut tidak menjual makanan apapun. Yang ada saya disuguhi duren gratis, cukup banyak. Sudah terlanjur lapar akhirnya saya pun makan duren tersebut, habis cukup banyak juga. Malam harinya, perut saya perih luar biasa, kurang lebih sekitar pukul 2 pagi saya keluar mencari pengobatan. Harapan saya tinggal puskesmas 24 jam (yang ternyata tidak buka malam itu) dan RSUD. Setelah berputar-putar dengan motor sendirian dan cukup dingin, akhirnya saya menemukan RSUD yang dimaksud.

Hal-hal lucu tersebut tidak mengurangi kekaguman saya atas keindahan alam Natuna (sebagaimana tulisan saya sebelumnya mengenai Natuna). Di TV saya suka melihat adegan burung elang menyambar ikan di laut, di Natuna hal tersebut bisa saya saksikan langsung di jendela kamar mandi penginapan yang saya tempati.
Cerita-cerita tersebut tidak menggambarkan kondisi Natuna secara umum, tapi hanya kondisi yang saya temui dan saya alami saja.

Salam

Friday 16 November 2012

Selamat datang anakku, Mikhayla Putri Ramandita.



Pada hari Jumat lalu, 2 November 2012, datang sebuah kejadian yang tidak terlupakan seumur hidup saya dan kami (saya dan istri tentunya).  Berawal di pagi hari kurang lebih jam 04.00 pagi, istri saya membangunkan saya dengan nada agak panik. Istri saya bilang bahwa ada yang mengucur dari dalam celananya, walaupun tidak banyak. Seketika langsung saya bangun dan membangunkan ibu mertua saya.  Untung hari-hari sebelumnya saya sudah mempersiapkan peralatan-peralatan dan pakaian-pakaian dalam sebuah tas, jadi apabila sewaktu-waktu terjadi persalinan tidak bingung mencari-cari apa yang harus dibawa. Lalu kami pun bergegas menuju ke bidan terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Ya memang, kehidupan di desa pada umumnya apabila terjadi proses persalinan orang-orang datang ke bidan terlebih dahulu untuk mendapatkan pertolongan pertama, apabila memungkinkan maka persalinan dapat dilakukan di bidan apabila tidak maka akan di rujuk ke Rumah Sakit pilihan keluarga.

Loh, kenapa di desa? Bukankah saya selama ini tinggal di Ibu Kota? Mari kita simak sebentar sejarahnya terlebih dahulu…

Ada kondisi dimana istri saya bersikeras untuk merawat ayahnya (mertua saya). Mertua saya mengidap penyakit diabetes dan sudah beberapa kali operasi, termasuk diantara operasi mata yang diakibatkan oleh penyakit diabetes tersebut.

Kehamilan pertama istri saya ini memang penuh cobaan. Ketika hamil muda, usia kandungan sekitar 2-3 bulan, ketika usia kandungan sedang rentan-rentannya, saya harus rela meninggalkan istri saya untuk bekerja diluar kota. Untung istri saya tidak banyak ngidam yang aneh-aneh dan tidak ada kondisi yang tidak mengenakkan sehingga saya pun tidak was-was meninggalkan istri demi mencari biaya persalinan. Pernah sih satu kali ngidam untuk makan nasi bebek madura, karena kasihan tidak ada yang membelikan, kakak ipar saya pun membelikannya tapi ternyata salah, sampai akhirnya bapak saya datang belikan (ternyata malah dekat rumah).

Cobaan berikutnya datang, ketika saya sudah kembali bertemu istri, tiba-tiba penyakit malaria saya kambuh (ya, saya pergi ke daerah endemic malaria). Istri saya sangat sedih melihat penyakit malaria saya yang kambuh dan menurunkan berat badan saya hingga 6kg lebih (istri saya tidak pernah melihat saya sekurus ini).

Penyakit malaria sudah hilang, saya sudah kembali beraktivitas dan sudah mulai normal berat badannya, datang cobaan berikutnya yaitu ketika dapat kabar bahwa ayah mertua masuk Rumah Sakit. Dan akhirnya kami pun pulang ke desa. Penyakit diabetes yang di derita ayah mertua saya sudah cukup parah, dimana harus rajin untuk menyuntikkan insulin secara teratur untuk mengontrol kadar gula agar tetap di angka normal. Untungnya istri saya sudah melewati trisemester pertama kehamilan sehingga kandungannya sudah cukup kuat untuk dibawa kesana-kemari, termasuk bepergian ke Solo untuk operasi mata ayah mertua.
Selama istri merawat ayahnya di desa, saya terpaksa harus berpisah lagi dengan istri saya untuk kembali ke Ibu Kota mencari biaya persalinan. Tapi pada kenyataannya tidak sepenuhnya benar, karena sebagian tabungan persalinan saya belikan XBOX360 dan TV LCD baru, hahahahha… Hal tersebut saya lakukan untuk mengusir kebosanan, karena selama ini setiap habis jenuh bekerja saya selalu bercanda dan tertawa-tawa bersama istri. Tapi ketika istri saya sedang jauh, siapa yang mau saya ajak bercanda dan tertawa-tawa di malam hari sepulang kerja?

Ketika usia kandungan istri sudah mendekati usia melahirkan, saya pun pergi ke desa untuk menjadi suami siaga. Menjadi suami siaga kurang lebih 1 bulan sampai akhirnya pada tanggal 2 November 2012…
Baiklah, mari kita kembali ke cerita proses persalinan.

Sampai di bidan kurang lebih jam 05.00 pagi, beruntung bidannya belum berangkat dinas ke puskesmas. Sehingga bidan bisa memeriksa istri saya. Bidan memantau keadaan istri saya hingga pukul 10.00 pagi, didapati tekanan darah istri saya yang tinggi dan tak kunjung turun, selalu diangka 150-170. Bidan tidak berani untuk melanjutkan proses persalinan dan akhirnya di tunjuk ke Rumah Sakit pilihan saya dan istri (karena istri saya beberapa kali terakhir ini cocok dengan salah satu dokter kandungan yang praktek di Rumah Sakit tersebut). Dan berangkatlah kami ke Rumah Sakit tersebut. Kurang lebih pukul 10.30 sampai di Rumah Sakit, langsung masuk ruang bersalin. Kondisi istri saya pada waktu ruang bersalin sudah pembukaan 3. Oleh dokter langsung diberi 2 buah botol infuse, satu berisi cairan penurun tekanan darah dan satu lagi berisi cairan induksi. Saya dan istri memang berkeinginan untuk melahirkan normal, karena beberapa kali periksa kandungan dokter menyatakan untuk memungkinkan melahirkan normal. Dan disinilah kehebohan dimulai.

Rasa sakit luar biasa sudah mulai di derita istri saya. Istri saya menceritakan rasanya seperti mules di dalam perut dikalikan 10. Saya tidak bisa membayangkan rasa sakit yang dirasakan istri saya. Seumur hidup saya, sakit yang terhebat yang pernah saya derita adalah ketika mengidap malaria dan low back pain (saya harap di kemudian hari ga ada lagi rasa sakit yang lebih hebat dari itu), melihat rasa sakit yang diderita sang istri, saya merasa sakit hebat yang pernah saya rasakan itu tidak apa-apanya. Oleh para perawat istri saya terus diingatkan untuk mengatur nafas, tarik nafas panjang dan dikeluarkan lewat mulut. Sedikit demi sedikit pembukaan sudah di pembukaan 8. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00. Rasa mules hebat tersebut membuat istri saya hampir tidak bisa beristirahat untuk mengambil nafas panjang. Baru istirahat sekian detik untuk mengambil nafas dari rasa sakit, timbul lagi rasa mules hebat sampai beberapa menit lamanya dan begitu pula seterusnya. Saya memasrahkan tangan dan muka saya untuk di remas-remas oleh istri ketika  dia merasakan rasa sakitnya, saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya ketika rasa sakitnya tersebut mulai timbul, sempat terpikir bahwa istri saya begini juga gara-gara saya, hahahaha…

Waktu menunjukkan pukul 15.00 dokter kandungan pun sudah datang untuk mengontrol dan membantu persalinan, oleh dokter masih belum boleh untuk mengejan. Walaupun sudah beberapa kali istri saya menyerah dan ingin sekali mengejan. Namun saya selalu mengingatkan untuk jangan mengejan, ikuti arahan dokternya. Sampai akhirnya dokter memeriksa denyut jantung bayi di dalam kandungan. Di sini masalah mulai timbul, di dapati denyut jantung bayi melemah ketika induksi di stop, namun kuat kembali ketika induksi dibuka lagi. Hingga saat ini posisi bayi belum juga turun dan kepalanya masih belum terasa, apabila di vacuum pun berbahaya karena posisinya masih terlalu jauh. Karena kondisi tersebut membahayakan bagi kedua belah pihak, sang ibu dan sang bayi, maka dokter merekomendasikan untuk di cesar saja.
Istri saya sempat histeris tidak mau di cesar, saya cukup memahami rasanya tidak ikhlas kalau sudah melewati rasa sakit segitu hebatnya tapi akhirnya harus di cesar. Akhirnya keputusan cesar diambil demi keselamatan bersama. Istri saya pun masuk ruang operasi pukul 15.30.

Dan pukul 16.00 lahirlah putri kami tercinta, dengan berat 3,76kg dan panjang 52cm. Cukup besar dan sangat lucu, apalagi rambutnya yang sangat tebat (selama hamil tua istri saya sering merasakan rasa gatal dari dalam, di posisi rahim bawah, mungkin ini dari rambut bayi kami yang sangat tebal). Walaupun begitu, istri saya masih belum keluar ruang operasi sampai pukul 22.00, karena masih menunggu untuk tekanan darahnya normal dan rasa menggigilnya hilang.

Di dalam kamar rawat, istri saya cerita bahwa si perawat sempat bilang ke dokter bahwa bukaannya sudah lengkap, si dokter menjawab, ya habis bagaimana lagi. Si perawat sempat menenangkan istri sambil bilang bahwa istri saya merasakan rasanya 2 melahirkan, yaitu melahirkan normal dan melahirkan cesar. Dan ketika dibedah si dokter bilang ke istri saya bahwa penyebabnya adalah si leher bayi terlilit tali pusar sehingga menyebabkan kondisinya seperti itu. Entah kenapa kondisi terlilit tali pusar tersebut tidak terlihat ketika kami USG sebelum-sebelumnya, atau karena kami tidak pernah periksa USG 4D? Ah, tapi tidak apalah, yang penting bayi kami lahir selamat, sehat dan istri saya selamat dan sehat juga. Segala rasa sakit yang dialami istri dan kecemasan saya selama proses persalinan terobati sudah dengan lahirnya putri kami yang lucu dan sehat.



Nama, bagi sebagian besar orang, nama adalah Doa orang tua bagi si anak. Begitu juga kami, nama lengkap dan nama panggilan anak kami adalah doa kami yang kelak akan mengiringinya seumur hidupnya. Namanya adalah Mikhayla Putri Ramandita. Mikhayla menurut referensi-referensi yang saya baca berarti Anugrah Tuhan, bisa juga berarti Malaikat. Tentu saja, anak mungil kami adalah anugrah Tuhan yang selama ini kami tunggu dan juga malaikat kecil bagi kami. Putri Ramandita, yang berarti sang putri (yang cantik) dari keluarga Ramandita. Kami memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan “Lala”. Kenapa Lala? Karena kami ingin memanggil dia sambil bernyanyi riang gembira. Ketika orang-orang bersenandung atau bernyanyi gembira, pada umumnya mereka menyanyikan Lalalalalalala… Kami berdoa agar kelak apapun kondisinya anak kami selalu dalam kondisi bahagia dan riang gembira, sesuai dengan nama panggilannya.. 

Lalalalalalalala…

Ucapan selamat berdatangan dari berbagai media, mulai langsung dan paling banyak melalui media social. Ada satu ucapan selamat yang paling berkesan dan memotivasi saya. “Semoga sukses mendidiknya bro..” Sederhana namun memiliki pesan tanggung jawab yang luar biasa besar kelak.
Cepat besar dan sehat selalu putriku sayang…

Riang gembiralah selalu..

Lalalalalalalalalala…


Sunday 8 July 2012

Ketika Indonesia Raya Tidak Khidmat

Komplek di tempat saya tinggal ini memaksakan perayaan 17 Agustusan dimajukan pada bulan Juni dan Juli. Masuk akal karena 17 Agustus tahun ini masih bertepatan dengan bulan Ramadhan dimana banyak orang yang berpuasa dan pada tanggal segitu, dipastikan sebagian besar orang Jakarta sudah meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya. Jadinya ya begitu, perayaan 17an (yang bukan Agustusan) dimajukan sebulan sebelumnya. Acara 17an di komplek ini dimeriahkan dari berbagai lomba, mulai dari lomba standar untuk anak-anak, bahkan acara kompetisi serius seperti Badminton dan Tenis Meja.

Terdapat pemandangan yang janggal tadi malam ketika saya sepulang dari sepedahan membeli makan malam. Saya melihat dan mendengar lagu Indonesia Raya sedang diputar, layaknya seremoni pembukaan acara olahraga pada umumnya. Tapi yang membuat saya sedih adalah, tidak ada satupun dari orang-orang ataupun anak-anak terlihat khidmat. Yang anak-anak masih tetap asyik berlarian kesana kemari, ada yang sambil tetap bermain badminton, sementara yang orang tua asyik mengobrol dengan sesama tetangganya.

Memang hanya sebuah lagu...
Terkesan lebay kalo harus khidmat di sekedar acara tujuhbelasan komplek...

Jadi jangan protes atau ngamuk-ngamuk di internet kalo suatu saat negara tetangga mungkin akan mengklaimnya...

Selamat Bagi Yang Diterima Perguruan Tinggi Negeri (ataupun tidak)

Pendahuluan

Siang ini ketika sedang santai tidak ada kegiatan dan hanya menonton berita di TV, saya cukup kaget dengan apa yang saya liat di running text Metro TV, yang menginformasikan bahwa: "realisasi lapangan kerja baru di Amerika Serikat hanya 80.000". Segitu parahkah, dalam hati saya berfikir.

Saya iseng mencari berita-berita di internet terkait hal tersebut dan membandingkannya dengan Indonesia. Menurut berita ini diinformasikan bahwa "Jumlah tenaga kerja yang diserap sampai Desember 2011 mencapai 404.039 orang," kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)/Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Setidaknya dalam hal penyerapan lapangan pekerjaan, jika dilihat dari angka semata, Indonesia jauh mengungguli Amerika Serikat, bahkan hampir 5x lipatnya.

Saya kembali mengingat-ingat obrolan saya dengan klien saya asal Skotlandia, yang waktu itu beliau masih aktif menjabat Managing Director di salah satu Perusahaan PMA di Indonesia. Dia bercerita bahwa salah satu staff kliennya dia yang menjadi operator di salah satu lokasi tambang sebetulnya adalah pelaut asal Australia yang sedang menunggu kapalnya sedang diservis di salah satu dock di Afrika. Sambil menunggu dia mencari pekerjaan di Indonesia dan jadilah operator tambang. Sebetulnya dia juga bukan murni pelaut, sebelumnya dia sama sekali tidak mempunyai latar belakang pelaut atau wawasan mengenai kelautan. Dia hanya seorang pemabuk, yang saking mabuknya dia kesasar di sebuah dermaga dan entah kenapa dia membeli sebuah kapal layar yang sedang dijual di situ (Mungkin dia seorang pemabuk yang kaya raya, mabuk saja bisa beli kapal). Setelah transaksi dia kemudian menaiki kapalnya untuk tidur. Ketika tersadar dia berada disebuah kapal layar, dia langsung memutuskan untuk keliling dunia dengan kapal layarnya berbekal hanya berkrat-krat bir dan pasokan makan seadanya.

Saya pernah bertanya ke klien saya itu, alasannya datang ke Indonesia apa? Jawabannya sederhana, "Mencari Kerja!!". Walaupun tidak berlatar belakang Sarjana, Master atau sebagainya, melainkan dari latar belakang Angkatan Laut dan seorang pembuat roti di kapal laut, pengalamannya luar biasa banyak dalam mengelola bidang yang berhubungan dengan pertambangan. Pada mulanya dia memang sedang menganggur dan membutuhkan pekerjaan, ketika melihat di Internet ada posisi jabatan yang sesuai bidangnya di salah satu perusahaan di Indonesia dia mencoba. Ya memang percobaannya membuahkan hasil dan membuat dia bekerja di sini cukup lama (hampir 20 tahun kalau tidak salah) dan sekarang dia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia bersama keluarganya.

Lalu saya kembali mengingat ketika saya masih bekerja di salah satu operator seluler. Ada masa dimana saya dan teman-teman sekantor saya dikursuskan bahasa Inggris di lembaga kursus ternama. Karena memang pekerjaan kami waktu itu membutuhkan bahasa Inggris yang cukup sering. Lembaga kursus bahasa Inggris tersebut terkenal karena guru-gurunya langsung didatangkan dari tempat dimana bahasa Inggris tersebut berasal, ya dari negara Inggris. Kebetulan kelas saya mendapat guru yang asyik dan seorang petualang. Dia pernah mengunjungi beberapa negara di dunia untuk bekerja sebelum akhirnya mencari kerja di Indonesia. Sebelum bekerja di Indonesia, dia sempat bekerja di Australia sebagai pembantu petani (yang sebelumnya lagi dia adalah penjual kain di Perancis). Dan dengan alasan yang sama dia datang ke Indonesia, Mencari Kerja.

Kembali mengingat ke masa yang lebih lama lagi, ke masa ketika saya masih kuliah. Ketika mendekati periode akhir kuliah saya, ada seorang mahasiwa baru, yang tidak terlihat sebagai mahasiswa baru pada umumnya. Selain dia orang bule, penampilannya juga jauh lebih tua dari kawan-kawan seangkatannya. Dia selalu memakai setelan pakaian kantoran pada umumnya. Ternyata berdasarkan hasil obrolan dengan dosen saya (yang juga merangkap sebagai pembimbing saya), si bule itu adalah pengacara asal Amerika yang bekerja di salah satu Firma Hukum ternama di Jl. Jendral Sudirman, selain itu dia juga sudah bergelar Master. Dia kuliah lagi di sini selain untuk mempelajari sistem hukum yang berbeda antara Indonesia dengan Amerika, dia juga mengincar untuk berpraktek di Indonesia (walaupun secara regulasi masih belum bisa).

Ketika tulisan ini berlangsung saya teringat kepada sosok Keith Martin, seorang penyanyi RnB asal Amerika (soal ini tidak usah dijelaskan pasti lebih banyak yang tahu). Pada awalnya Keith Martin berkarir dan terkenal di Amerika, lalu akhir-akhir ini sering terlihat "ngamen" di Indonesia, entah itu manggung di acara TV atau menjadi penyanyi rohani di acara keagamaan. Bahkan saya pernah mendengar gurauan penyiar radio di salah satu siarannya beberapa bulan lalu, bahwa katanya Keith Martin sekarang menjadi Guru les bahasa Inggris. Tentunya hal ini hanya kabar burung yang tidak dapat diketahui kebenarannya. Mungkin (mungkin ya, hanya sebatas mungkin), orang-orang asing yang datang ke Indonesia untuk mencari kerja di Indonesia mempunyai sedikit keunggulan dibanding orang lokal. Seapes-apesnya mereka mencari pekerjaan, setidaknya masih berkesempatan jadi Guru bahasa Inggris.

------

Kelanjutan dari pendahuluan
 
Nah lalu apa hubungannya judul dengan pendahuluan di atas yang panjang lebar itu?

Begini, kemarin di linimasa twitter saya sedang ramai hasil SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Bagi sebagian besar orang (mungkin termasuk saya dulu), masuk PTN merupakan kebanggaan tersendiri, bagi sebagian besar orang juga beranggapan bahwa masuk PTN juga berpeluang untuk mempermudah mencari pekerjaan bergengsi (walaupun pada kenyataannya belum tentu juga).

Yang lucunya di saat hampir yang bersamaan, di linimasa saya ada twit dari @kaskus yang mengatakan "kasihan 493.000 sarjana menganggur". Ibarat kata tinju, ini adalah sebuah uppercut yang telak ke rahang lawan. Di saat kebanyakan pemuda-pemudi bersenang-senang merayakan kesuksesan masuk PTN, tiba-tiba langsung dihadapkan kenyataan pengangguran (kasarnya: "ngerasain kuliah aja belum, udah dihadapkan dengan kenyataan pengangguran). Jika dilihat dari tulisan tadi sebelumnya mengenai jumlah tenaga kerja yang diserap per akhir tahun lalu jumlahnya 404.039 orang, jumlah sarjana yang menganggur masih lebih banyak dari tenaga kerja yang terserap. Angka tersebut baru dilihat dari parameter sarjana, jika paramaternya diperluas lagi, saya yakin angkanya bisa lebih banyak dari itu.

(Lagi-lagi) jika dibandingkan dengan Amerika Serikat setidaknya Indonesia masih lebih beruntung jika dilihat dari persentase. Setidaknya persentase pengangguran Indonesia masih lebih kecil daripada Amerika Serikat. Indonesia berada di angka 6,3% sedangkan Amerika Serikat 8,3% (Sumber: kaskus dan metrotvnews). Tapi hal ini jangan membuat kita (terutama para calon sarjana dan calon pemuda siap kerja ataupun usaha) terbuai. Lawan teman-teman nanti di dunia pencarian kerja bukan hanya orang yang duduk di sebelah bangku kuliah anda ataupun orang yang tidak anda kenal dari kampus atau sekolah lain. Melihat dari apa yang saya tulis sebelumnya, besar kemungkinan anda juga bersaing dengan para pendatang dari negeri lain yang datang dengan alasan yang sama, Mencari Kerja! Mengingat sekarang saja level operator sudah mulai dipegang oleh orang asing. Tapi bukan berarti orang lokal hanya sebatas level operator saja, biasanya orang asing yang bekerja di Indonesia diposisikan sebagai tenaga ahli, ataupun di jabatan manajemen (apapun diluar personalia jika menurut regulasi ketenagakerjaan). Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan kita akan melihat orang bule sebagai customer service atau mungkin call center atau mungkin pekerjaan entry level lainnya. Kita sebagai SDM lokal juga harus mampu mengusai hingga posisi manajemen atau bahkan sebagai pemilik.

Semoga hal tersebut tidak membuat ciut nyali para calon sarjana, tapi justru untuk sebagai bahan pecutan agar lebih bersemangat lagi. Malah lebih bagus lagi jika bisa memecut diri untuk dapat membuka peluang usaha, sehingga bisa makin terbentuk lapangan pekerjaan. Yang penting kita harus menghilangkan jauh-jauh pandangan bahwa pekerjaan yang bergengsi itu adalah pekerjaan dengan pakaian rapi, penampilan trendi masa kini, di belakang meja dengan komputer berinternet kencang dan di dalam ruang berAC. Hilangkan gengsi dalam mencari pekerjaan atau membuka usaha.

Lebih mulia dan bermanfaat apabila anda ternyata tidak tamat sarjana, lalu menjadi tukang kerupuk, - misalnya - (bukan berarti pekerjaan tukang kerupuk tidak bagus, saya hanya mengambil sampel acak) dengan puluhan orang pekerja, daripada anda bergelar sarjana dengan bermacam-macam "S" dan "M" mengelilingi nama anda, tapi hanya bisa tunduk apa kata boss anda di ruangan berAC tanpa bisa memberi manfaat penghidupan bagi orang banyak.

Bukan berarti saya mengajarkan anda tidak tamat kuliah. Mengejar ilmu itu penting, wawasan dan jaringan yang seluas-seluasnya itu penting. Tapi jangan hanya mengejar nilai dan gelar saja. Seperti apa yang dibilang Rancho di film 3 Idiots Kejar ilmunya, jangan cuma melihat dari nilainya saja.

Yang penting, hilangkan gengsi, tetap smart, jangan takut atau ragu untuk memulai pekerjaan ataupun usaha. Dan ingat, bekerja itu tidak harus selalu di dalam suasana ruangan kantor dengan meja komputer dan ruangan berAC. Masih banyak lapangan pekerjaan dan usaha lain yang masih potensial untuk dikerjakan. Saya tidak berusaha untuk memulai ceramah agama di sini, tapi kutipan sabda Rasulullah SAW sangat tepat untuk dijadikan penutup: ” Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ” (HR. Bukhari).

Sekali lagi saya ucapkan selamat kepada Pemuda-Pemudi yang diterima di PTN. Tak lupa juga saya mengucapkan selamata kepada Pemuda-pemudi lain yang walaupun tidak diterima di PTN tapi masih dapat melanjutkan jenjang pendidikan di bangku kuliah. Ingat tidak semua orang punya kesempatan dan beruntung seperti anda-anda, jadi manfaatkanlah baik-baik, dan jadilah orang yang bermanfaat.

Salam


Tuesday 3 July 2012

Gagal Ditipu sama Penelpon Mengatasnamakan Grapari Telkomsel

Siang ini lagi asyik main HP sambil nungguin mobil dicuci, tiba-tiba ada sebuah telfon masuk di nomor Telkomsel saya. Ini sungguh aneh, tidak ada orang lain yang tahu nomor ini kecuali tim kerja, istri dan orang tua saya. Nomor tersebut adalah nomor dari Telkomsel juga, yaitu: 082175745742.

Tidak ada perasaan buruk sangka apapun akhirnya saya angkat telefon tersebut. Dan ternyata mengatasnamakan Edi dari Grapari pusat. Agak aneh mendengar seorang call center yang menelfon (atau menerima telefon) pelanggan tapi logat/dialek daerahnya sangat kental. Saya sudah berkali-kali menelfon (atau menerima telfon dari) call center, bahkan untuk suatu institusi atau perusahaan yang berdomisili di daerah pun tidak terdengar logat kedaerahannya. Jadi kira-kira begini ceritanya:


Galih (G): Halo..
Edi: (E): Halo selamat siang, saya Edi dari Grapari pusat ingin memberi tahu bahwa nomor Bapak terpilih jadi pemenang undian...bla...bla... (lupa nama undiannya apa).. Mohon maaf sebelumnya saya bicara dengan bapak siapa?.
G: Saya dengan Galih... eeee, tadi namanya mas siapa?
E: Edi pak... (tetap dengan logat kedaerahannya yang kental, tapi saya gak tau dari daerah mana)
G: Mas Edi dari Grapari mana tadi
E: Grapari pusat.. (nada suara mulai jengkel)
G: Grapari pusat itu ada dimana ya?
E: (nada suara mulai tinggi), Grapari pusat ya di Gedung Telkomsel pusat di kuningan...
G: Kuningannya dimana ya? Setau saya ga ada Gedung Telkomsel pusat di kuningan? (sok tahu saja)..
E: (Nada tinggi dan jengkel) Makanya bapak gak tau.... (langsung ditutup, ngambek sepertinya)
G: (Mesam-mesem sendiri lalu lanjut mainan HP lagi)...


Istri saya dulu ketika masih kerja di salah satu operator selular (dan sebelum bertemu saya tentunya), juga pernah di posisi call center, untuk menghubungi para pemenang-pemenang undian berhadiah dari operator seluler tersebut. Segala macam tanggapan mulai dari sinis, biasa aja bahkan sampe dikerjain kayak saya tadi memang sudah menjadi resiko dan harus dilayani dengan sabar dan baik, bukan langsung ngambek dan menutup telfon dengan nada tinggi seperti tadi. Jika memang benar itu hadiah dari kantor, maka sang call center harus menjelaskan dengan sabar dan benar kepada pelanggan, karena itu sudah menjadi haknya pelanggan dan tentu bisa dipertanggungjawabkan.


Hal lain yang aneh adalah, dia menghubungi pelanggan, tapi tidak tahu nama pelanggan yang ditelfonnya. Sesuai dengan keterangan istri saya waktu bekerja di call center dulu, setiap data pelanggan (baik nomor telefon dan nama lengkap) sudah ada dan disiapkan kantor. Jadi tidak perlu lagi si call center menanyakan lagi siapa nama yang ditelfon. Lagipula, jika memang benar dari call center, pastilah di meja call center tersebut ada sebuah perangkat komputer dan sebuah aplikasi yang menayangkan data pelanggan, jadi hal menanyakan nama pelanggan sudah tidak perlu lagi.


Dan yang paling penting, jarang sekali kasus pihak yang mengaku dari kantor tertentu pakai nomor HP, apalagi nomor HP berantakan (kelihatan sekali beli sekedarnya untuk sistem Hit and Run), seringnya adalah pakai nomor kantor. Seperti saya dengan nomor Indosat, setiap bulan saya selalu ditelfon oleh pihak Indosat untuk mengingatkan bahwa tagihannya sudah jatuh tempo. Dan telfon tersebut terlihat memang telfon kantor, diiringi dengan kode daerah 021.


Sebaiknya, jika teman-teman mengalami telfon dugaan penipuan, yang harus dilakukan adalah tetap tenang. Ingat lagi, apakah telfon yang masuk tersebut menggunakan telfon kantor atau HP. Jika menggunakan HP, sebaiknya tenang dan pastikan segala ucapannya dapat dipertanggungjawabkan. Caranya? Ya pertama anda harus punya wawasan umum sederhana tentang operator selular yang anda pakai. Buatlah pertanyaan-pertanyaan menjebak atau hal yang membuat jengkel si call center palsu tersebut. Kalau memang dia mengaku asli dari kantor, suruh tutup HPnya dan minta untuk menelfon dari kantor.
Jika anda ragu-ragu, sebaiknya jangan diteruskan, apalagi sudah terdengar gejala untuk meminta nomor rekening, nomor kartu ATM atau meminta anda ke ATM, salah-salah anda malah dihipnotis via telefon.


Demikian cerita pengalaman saya siang ini yang membuat istri saya tertawa ngakak ketika saya telfon dia untuk menceritakan kejadian ini.


Salam

Saturday 23 June 2012

Kereta Api VS Bis AKAP

Di sini saya tidak akan membandingkan langsung antara Kereta Api dan Bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi). Karena ya memang sudah tidak sebanding, baik dari bentuk, spesifikasi dan lain sebagainya.
Tapi saya akan membandingkan pengalaman naik Kereta Api versus naik Bis AKAP.

Dari sekian banyak moda transportasi antar propinsi (di Jawa), mulai dari Pesawat, nyetir mobil pribadi, Bis Malam, Kereta Api, hingga mungkin Kapal Laut (siapa yang mau naik Kapal Laut dari Jakarta ke Surabaya?). Saya lebih suka naik Kereta Api. Terutama Kereta Api keberangkatan Pagi atau Siang. Bukan apa-apa, sejak kecil hingga sekarang saya selalu suka melihat pemandangan dari jendela gerbong Kereta, bahkan saya selalu minta supaya dapat bangku sisi jendela. Selain supaya bisa melihat pemandangan dengan leluasa, juga bisa buat nyenderin kepala untuk tidur.

Pemandangan di atas (diambil dari mbah Google), merupakan pengalaman yang asyik yang tidak bisa ditemui oleh moda transportasi lain (apalagi pesawat). Karena memang jalur kereta lebih banyak melewati kawasan pedesaan yang penuh dengan sawah dan kebun dengan latar belakang gunung menjulang.

Gambaran tersebut seolah-olah membuat bayangan tentang Negri yang kaya akan SDA dan ketahanan pangan yang kuat, karena sepanjang mata memandang dipenuhi oleh sawah dan perkebunan sayuran.

Namun bayangan tersebut bisa langsung sirna ketika saya  naik Bis AKAP. Bis AKAP yang dominan melalui jalan utama propinsi, sering saya temui beberapa hektar lahan sawah atau perkebunan di sulap menjadi Pabrik, Ruko, Restoran, Pom Bensin, Waterboom (yang saat ini sedang musim di bangun di daerah-daerah), bahkan perumahan minimalis model cluster. Nah yang terakhir ini agak sedikit aneh sebenarnya, memaksakan membangun perumahan minimalis model cluster dengan type 36-45 di tengah sawah di pedesaan. Okelah kalau di Ibukota perumahan minimalis model cluster dengan type 70 ke bawah cukup laku, karena selain sudah tidak ada lagi lahan untuk dibangun, kebutuhan akan hunian cukup tinggi walaupun kecil. Tapi jika di pedesaan, terkesan sangat memaksakan untuk mengikuti apa yang sedang tren di Ibukota.

Hal tersebut membuat saya berpikir, kalau banyak lahan sawah dan kebun dihabiskan untuk hal-hal di atas, belum lagi masalah ketidaan regenerasi (karena dari sekian banyak yang saya lihat, para petani dan pekerja pengolah hasil pertanian usianya sudah pada di atas Bapak saya)... Nanti anak-cucu kita mau makan apa? Impor?

Salam

Saturday 26 May 2012

Waspada Modus Kejahatan Debt Collector Palsu

Kemarin sore Bapak saya bercerita tentang Debt Collector palsu yang ternyata sudah 3 kali beraksi di lingkungan RW sini. Modusnya adalah berpura-pura sebagai Debt Collector (Penagih), biasanya Debt Collector untuk mobil atau motor, dan mereka membawa dokumen-dokumen palsu berupa surat kuasa palsu dan catatan kredit (yang telah diedit dan dipalsukan tentunya).



Biasanya mereka mengincar calon korban yang cenderung lemah, misalnya istri target (ketika sang suami lagi tidak ada di rumah), anak si target, atau pembantu si target.

Kejadian pertama adalah ketika Debt Collector palsu ini mendatangi salah seorang warga sini, kebetulan memang di rumah tersebut hanya ada istrinya. Debt Collector ini datang dengan tujuan untuk menarik kembali motor sang suami dengan alasan menunggak lama (dengan menunjukkan dokumen-dokumen palsu tersebut). Padahal, menurut pengakuan sang istri, motor tersebut selalu di bayar tepat waktu. Mungkin karena dalam posisi terdesak dan takut (pada umumnya secara fisik Debt Collector itu menyeramkan), akhirnya dengan pasrah motor tersebut dibawa.

Kejadian kedua hampir sama (beda korban tentunya), motornya sedang dibawa oleh anaknya lalu kemudian dicegat dan diminta dengan alasan motor tersebut menunggak lama.

Sepertinya sasaran para Debt Collector palsu ini memang ketika properti (motor/mobil) sedang tidak dipakai atau dibawah kuasa oleh si korban, bisa dipakai oleh anggota keluarganya yang lain, atau dipinjam oleh teman, atau mungkin sedang disewakan dengan pihak lain. Jadi biasanya ketika berhadapan dengan Debt Collector palsu ini, si pembawa properti ini susah untuk berargumen karena tidak tahu menahu sejarah kreditnya.
Tapi tidak semua Debt Collector palsu ini lihai dalam mencari mangsa, ada juga yang secara acak dalam memilih korbannya, seperti kasus ketiga di bawah.

Kasus ketiga adalah ketika salah seorang warga sini didatangi debt collector palsu untuk menarik motor. Si pemilik motor tersebut langsung menghardik debt collector palsu tersebut sambil mengatakan bahwa motor ini dibeli kontan. Debt Collector itu kaget dan mengingat posisinya sudah sangat lemah, maka dia buru-buru pergi dengan alasan salah alamat, beruntung dia tidak diteriaki maling. Sebab jika iya sudah dipastikan babak belur dihajar warga sini yang sangat padat penduduknya.

Semakin hari semakin banyak tindak kejahatan yang membuat kita jadi takut, Tapi hal tersebut jangan sampai menyurutkan semangat kita untuk mencari penghidupan yang halal. Mudah-mudahan tips di bawah dapat membantu ketika bertemu dengan Debt Collector palsu tersebut.

  1. Tenang, jangan panik. Pastikan anda tahu betul sejarah kredit properti anda (Mobil/Motor), kapan anda terakhir membayar, bagaimana prosedur pembayaran dan kepada siapa. Simpan dengan benar dokumen-dokumen kredit dan simpanlah di tempat yang aman tapi mudah terjangkau, sehingga apabila terjadi hal yang demikian kita mudah untuk meraih dokumen-dokumen tersebut untuk bahan argumen.
  2. Jika anda seorang pemberani dan tangguh (macam Marcopolo), serta berani mengambil resiko yang terjadi, tidak ada salahnya beradu argumen hingga membuat kegaduhan. Sehingga akan menimbulkan rasa penasaran warga sekitar untuk melihat apa yang  terjadi (tentunya hal ini harus didukung dengan kondisi warga sekitar yang kompak). Dengan ini diharapkan posisi Debt Collector palsu ini terjepit
  3. Jika tidak memungkinkan untuk melakukan aksi nomor 1 dan 2 di atas, misalnya saja mobil/motor tersebut adalah pinjaman atau sewaan. Tetaplah tenang, ikuti alur mainnya dan bilang kalau mobil/motor dapat ditarik asalkan prosedur penarikan dilakukan di kantor bank atau leasing yang bersangkutan. Debt Collector yang benar pasti berani dan mau apabila ditantang untuk melakukan penarikan di kantor. Karena hal tersebut juga memudahkan tugas mereka. Saya pun pernah mengalami hal ini ketika saya sedang memakai mobil sitaan milik kantor bapak saya, ketika sedang dibawa jalan saya langsung dicegat oleh 3 mobil yang berisi para debt collector. Mereka mengatakan bahwa sang pemilik mobil (yang sedang dalam penyitaan kantor bapak saya), ternyata menunggak hingga 5 bulan dan sudah waktunya ditarik. Oleh mereka penarikan akan dilakukan di kantor leasing. Saya pun ikut sampai ke kantor mereka (sambil memastikan bahwa benar atau tidak), dan ternyata memang benar. Setelah melakukan pengecekan fisik kendaraan dan menandatangani berita acara, saya pun pergi. Dongkol memang, tapi ya bagaimana lagi memang secara legal posisi mereka benar, karena BPKB masih berada dalam penguasaan pihak leasing. Oke kembali ke tips, jika memang ternyata si Debt Collector ini mau di ajak ke kantornya, pastikan anda tidak sendirian atau minta seseorang mengikuti atau mengawal anda, antisipasi kalau terjadi apa-apa di jalan.
  4. Jangan mudah percaya dokumen-dokumen yang mereka bawa (berlaku juga untuk Debt Collector asli), karena dengan kecanggihan teknologi sekarang apapun dapat dipalsukan dan dimodifikasi. Jika kita memang dalam posisi benar jangan ragu untuk melakukan hal-hal tersebut di atas.
Semoga tulisan ini dapat berguna dan dapat meningkatkan kewaspadaan kita terhadap potensi-potensi kejahatan yang makin beraneka ragam.

Salam

Saturday 12 May 2012

Perjalanan Timika (II)


Akhirnya dapat juga pekerjaan di Timika, setelah sebelumnya (Perjalanan ke Timika I), hanya survey ke lokasi. Kali ini, saya memaksakan diri untuk membawa sepeda di perjalanan ini. Tujuan awalnya adalah untuk transportasi ke tempat perekonomian dan tempat logistik terdekat. Karena pada waktu survey kemarin jaraknya masih sanggup untuk ditempuh dengan sepeda. Selain itu agar ada yang diceritakan di blog ini, yaitu pengalaman bersepeda di Timika.

Awalnya saya ingin bawa roadbike saya ke Timika, namun terhalang kendala roda belakang tidak bisa lepas dari RD hangernya. Sepertinya Locknut Freehub tersangkut di RD Hanger (aneh juga, padahal ini baru beli langsung dari Pabrik Polygon di Surabaya dan dicocokkan dengan type sepedanya). Akhirnya diputuskan untuk membawa Surly, yang sebelumnya saya set ke fixed gear terlebih dahulu. Ada untungnya juga bawa Surly, jadi tidak ribet waktu membongkar dan packing ke dalam dus untuk dimasukkan ke dalam bagasi pesawat.

Setibanya di lokasi, langsung beres-beres barang dan merakit kembali sepeda. Ternyata ada lagi kendala, sekarang seatpostnya macet di posisi paling rendah (selama ini memang dipakai istri di posisi paling rendah dan sudah lama tidak dinaik-turunkan). Berbagai cara sudah dicoba, mulai dari system getok, hingga kepala seatpost diputar pakai kunci inggris namun tetap gagal.
Sempat frustasi karena tak kunjung berhasil (sebab tujuan utama saya bawa sepeda adalah untuk ke lokasi lokasi logistik terdekat). Beruntung ada penjaga camp yang berbaik hati meminjamkan sepeda motornya, sehingga urusan penyediaan logistik masih bias teratasi.

Yang mengejutkan di sini adalah harga bensin (premium dan solar). Disaat pemuda ibukota demo kenaikan harga BBM, di sini saya dan penduduk setempat harus beli bensin (eceran), seharga Rp. 20.000 per botol air mineral 1,5 liter. Jika ingin harga normal silakan saja antri di SPBU Pertamina hingga sore bahkan bisa sampai besok. Ketika saya iseng motret kondisi antrian di SPBU, saya sempat ngobrol dengan salah satu supir angkot (disana sebutannya Taxi) yang sedang mengantri.
“Kondisi sekarang memang minyak (bensin) sedang susah, pasokan terhambat di Ambon yang sedang cuaca buruk. Kami nyupir buat cari makan, jadi mau tak mau harus mengantri di SPBU, walaupun baru bisa dapat nanti malam. Kalau beli di eceran kami tidak dapat apa-apa”, kata supir tersebut. Dia juga menambahkan bahwa di Timika sendiri hanya terdapat 3 Pom Bensin.



Nah, yang menjengkelkan  ketika keesokan harinya saya mau beli bensin untuk motor pinjaman (tidak enak kalau hanya pinjam tapi tidak membelikan bensin), saya dibuat kaget dengan harga bensin yang langsung melonjak jadi Rp. 30.000 per botol air mineral 1,5 liter. Padahal baru kemarin harganya Rp. 20.000. Naik 50% dalam kurun waktu kurang dari 24 jam!!

Awal-awal di sini saya cukup kaget denga harga yang ada. Gas Elpiji 12kg misalnya, harganya Rp.210.000 dan ya bensin itu tadi. Saya tidak bisa berlama-lama dengan kondisi ini, jika saya tetap bergantung kepada sepeda motor bisa-bisa saya tekor harus membelikan bensin eceran dengan harga segitu, sedangkan meluangkan waktu seharian untuk mengantri bensin juga tidak mungkin, bisa-bisa pekerjaan saya terbengkalai. Akhirnya saya memaksakan diri untuk mencari WD40 dan kunci pipa ukuran besar ke toko matrial dengan kondisi seatpost rendah. Dengan dibantu oleh seorang tenaga tukang akhirnya permasalahan seatpost dapat teratasi. Sepanjang perjalanan dari material ke camp saya melihat beberapa pemandangan. Pertama menyedihkan, banyak pengedara motor yang kehabisan  bensin mendorong motornya mencari pengecer yang sudah banyak kehabisan persediaan bensin juga. Kedua agak lucu, banyak pelajar SMP (bahkan siswinya) pulang sekolah dengan membawa parang besar, mungkin karena rute perjalanan mereka banyak melewati semak belukar yang memang tinggi-tinggi.

Sudah empat hari saya berada di Timika, dengan permasalahan sepeda yang sudah teratasi, akhirnya saya mencoba sepedahan ke Kota Timika. Jarak dari camp kami ke kota tidak terlalu jauh, saya tidak tahu pasti berapa jaraknya tapi yang jelas memakan waktu kurang dari sejam dengan kecepatan normal bersepeda. Terus mengayuh sampai akhirnya ke ujung airport. Agak sedikit heran, padahal banyak ditemukan toko dan bengkel sepeda tapi kok saya jarang melihat orang bersepeda di sini. Tapi yang patut diacungi jempol adalah, tingkat disiplin berlalu lintasnya yang sangat tinggi. Tidak ada pengemudi motor/mobil yang menyerobot lampu merah walaupun tidak ada polisi, semua tertib berhenti tepat di belakang lampu merah yang bahkan tidak ada garis stop. Begitu juga dengan kecepatan kendaraan, meskipun aspal jalanan dominan hotmix super mulus, tidak ditemukan pengemudi yang mengendarai kendaraannya dengan kebut-kebutan dan ugal-ugalan. Semua berjalan tertib dan normal.
Selesai bersepeda ke kota, saya harus kembali pulang ke camp untuk melanjutkan pekerjaan. Tapi sebelumnya saya menyempatkan diri ke Kuala Kencana, gerbang masuk FreePort yang tidak jauh dari camp. Tapi saya tidak masuk ke dalamnya, karena harus melewati gerbang pos dengan tingkat keamanan yang ketat.





Hari kelima saya ada di Timika, saya pun iseng mau mencoba gowes ke arah pelabuhan. Sialnya siang hari hujan deras (padahal paginya cerah dan panas). Hujan baru reda sekitar jam duaan. Kesorean untuk memulai gowes sebenarnya, mengingat untuk gowes ke pusat Kota Timika memakan waktu kurang lebih 45 menit. Tapi ya sudah, kepalang tanggung, lanjutkan saja. Untuk ke arah pelabuhan saya harus melewati pusat kota Timika, cukup ramai memang, dengan aktivitas perdagangan dan usaha, pangkalan becak dan angkot. Berbekal nekat, saya nanya ke orang yang sedang lewat arah ke pelabuhan, sambil menunjukkan arah dia bilang masih jauh katanya. Cukup sepadan untuk dicoba. Saya tidak tahu sudah berapa kilometer sudah saya tempuh, tapi yang jelas sudah cukup lama, lebih dari satu jam yang jelas. Kualitas jalan ke arah pelabuhan sedikit berbeda dengan kualitas jalan ke arah Kuala Kencana. Apabila ke arah Kuala Kencana jalannya begitu halus dan mulus, jalan menuju pelabuhan terasa sedikit rendah kualitasnya. Memang aspalnya mulus, tapi terkadang masih ada ditemui jalanan yang tidak rata dan berlubang, terlihat memang di sini kepentingan siapa yang berbicara. Sepanjang perjalanan masih banyak ditemui rumah-rumah sederhana yang terbuat dari papan kayu dan tanpa akses listrik, padahal sudah dilalui kabel PLN.








Hari sudah semakin sore tapi Pelabuhan tak kunjung terlihat, tapi saya yakin ini memang jalannya, sebab sepanjang jalan saya menemui orang berjalan dengan membawa ikan besar dan banyak rumah-rumah menaruh mesin perahu temple di teras rumahnya. Pasti tidak jauh lagi, dalam hati…
Tapi karena tak kunjung tiba, akhirnya saya bertanya kepada pengendara motor yang sedang lewat. Sambil setengah tertawa meledek, dia bilang masih sangat jauuuuh. Baiklah, hari sudah semakin sore, pulang ke camp dengan kondisi jalanan gelap itu tidak bijaksana. Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk putar arah dan kembali ke camp.

Hari-hari di Timika saya lalui, tak terasa saya sudah hampir satu bulan di sini. Selama masa ini, saya sempat terkena malaria. Awalnya hanya bersin-bersin karena pilek, tapi di malam pertama kok demam? Rasa demamnya sungguh tidak nyaman, hampir sama seperti demam lainnya, tapi menyerangnya di malam hari (mirip seperti gejala demam berdarah) dan ditambah rasa ngilu di daerah paha belakang hingga betis. Oleh karena demam tak kunjung hilang selama 3 malam, akhirnya saya menghubungi teman saya untuk minta diantar ke klinik untuk mendapatkan perawatan. Saya diberi suntikan dan obat anti malaria untuk diminum selama beberapa hari. Oleh karena di klinik, biaya pengobatan cenderung mahal. Hari-hari pertama mengkonsumsi obat malaria ini rasanya sungguh tidak nyaman, rasa mual yang hebat dan yang lebih tidak enak lagi adalah gangguan tidur. Pada hari pertama saya minum obat anti malaria ini, malamnya saya sama sekali tidak bisa tidur. Mata dipejamkan sampai bagaimanapun juga tetap tidak bisa tidur sampai pagi. Anehnya, di pagi hari badan sama sekali tidak terasa capek karena malamnya tidak tidur (tidak seperti kondisi badan habis bergadang yang biasanya badan menjadi lesu). Wah tidak beres ini, siangnya saya harus memaksakan untuk tidur walaupun sebentar. Untungnya kondisi tidak nyaman ini hanya berlangsung sehari saja, malam hari setelahnya saya bisa tidur dengan normal.

Malaria memang menjadi masih menjadi momok di sini, apabila ada orang terkena demam, kecurigaan pertama langsung malaria. Benar saja, salah satu tim saya gentian kena malaria. Awalnya dia demam disertai mual-mual dan nyeri di sendi. Langsung kami bawa ke Puskesmas (konon katanya murah) untuk di cek darahnya dan diberi pertolongan pertama. Benar saja, ternyata salah seorang tim saya kena Malaria Tropika. Oleh Puskesmas diberi beberapa obat. Hebatnya, biaya pengobatan Puskesmas di sini adalah GRATIS. Walaupun daerah endemic, namun untuk akses kesehatan terutama bagi warga kurang mampu pelayanannya cukup baik.

Setelah saya ngobrol-ngobrol dengan kawan saya yang asli sini, di seluruh Papua khusus untuk Malaria biaya pengobatan untuk di Puskesmas dan RSUD memang digratiskan, karena memang sudah menjadi program pemerintah daerah setempat.

Hari demi hari berlalu, saya tak lagi sempat menulis catatan perjalanan (yang akan saya gunakan untuk menulis blog ini), dikarenakan kondisi pekerjaan yang mengharuskan cepat selesai. Saya juga tidak mau berlama-lama di sini, mengingat malaria sudah menjangkiti saya dan salah seorang anak buah saya, saya tidak mau malaria juga menjangkiti anak buah saya yang lain.

Hari-hari terakhir saya di Timika sudah semakin dekat, pekerjaan sudah selesai, tiket pulang sudah di tangan, tinggal bersiap-siap. Sehari sebelum pulang, saya mensempatkan diri ke kota Timika untuk makan siang dengan meminjam motor penjaga camp. Saya melewati pom bensin, kok sudah tidak ada antrian lagi? Akhirnya saya mampir untuk mengisi bensin. Menurut kabar, sang penimbun (penyebab semua kekacauan dan tersendatnya pasokan bensin) sudah tertangkap. Malamnya, badan saya berasa tidak enak lagi, sendi-sendi paha sudah mulai berasa ngilu lagi. Gejala yang sama saya rasakan ketika malaria waktu itu. Dalam hati saya berfikir, masa kumat lagi?
Perjalanan Timika - Makasar - Jakarta serasa perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, karena saya harus melawan rasa pusing dan demam sepanjang perjalanan. Sesampainya di rumah, karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya saya pun ke Rumah Sakit untuk diberi pengobatan. Untungnya setelah melalui pemeriksaan laboratorium, dinyatakan negatif malaria, tapi malah terdeteksi typus.
Melegakan, setidaknya typus masih umum dan dapat ditangani oleh tenaga medis kota besar.
Lain halnya jika malaria, mengingat kota besar seperti JABODETABEK sudah terbebas malaria, maka tidak banyak tenaga medis yang paham bagaimana menangani penyakit tersebut. 
Benar saja, sebab di rumah sakit tempat saya periksa selain tidak punya obatnya, pegawai customer servicenya bilang bahwa Malaria itu sama dengan DBD. Sepertinya itu pegawai harus mengundurkan diri dulu dan kembali ke sekolah yang benar sebelum terjun ke dunia kerja agar tidak menyesatkan orang lain, apalagi di rumah sakit yang berkaitan dengan kesehatan bahkan nyawa sesorang.

Dan saya pun disarankan oleh dokter untuk bedrest, bahkan ketika tulisan ini dipublikasi saya masih dalam kondisi bedrest...

Membosankan...

Sepedahan di Blitar

Sebenarnya ini perjalanan bersepeda ini sudah cukup lama, setahun yang lalu. Tapi saya baru sempat menulisnya sekarang. Sebenarnya bukan baru sempat sih, tapi lupa menaruh foto-fotonya ada dimana, heheheh...

Tahun lalu waktu mudik lebaran (kalau tidak salah ingat), saya dan istri mudik ke kampung halaman istri di Blitar, Jawa Timur. Mengingat letak rumah mertua berada di bukit dan belakang rumahnya pekarangan yang luas, maka saya membawa serta sepeda MTB Hardtail pinjaman dalam perjalanan mudik.

Setelah beberapa hari silaturahmi keliling dengan keluarga, kini saatnya saya mengeluarkan sepeda. Percobaan pertama adalah bersepeda yang dekat-dekat dulu, dimulai dari pekarangan belakang rumah...


Pekarangan belakang rumah berkontur bukit dengan banyak pohon-pohon jati. Tapi sayang setelah muter-muter beberapa saat ternyata lebih banyak jalan buntu, kalau kata teman-teman saya biasa disebut "Tidak Gowesable".Hari berikutnya mencoba lebih jauh lagi, masih tidak jauh dari rumah. Mencoba lewat jalur persawahan dan berkebunan. Kondisi pada waktu lagi musim kemarau, jadinya pemandangan kebun dan sawah didominasi oleh warna daun-daun yang mengering.



Bebebrapa hari kemudian saya dapat sms temen bersepeda saya di Jakarta, yang kebetulan juga lagi ada di Blitar. Dia sms bertemu dengan bikepacker bule, yang lagi touring keliling Indonesia dan meminta tolong komunitas sepeda setempat untuk menemaninya menuju perbatasan. Saya pun menyetujuinya dan janjian besok pagi di kota.

Besok paginya saya langsung ke kota untuk bertemu dengan teman saya dan tentunya si bikepacker itu sendiri. Sebenarnya bukan komunitas sepeda setempat jadinya, karena cuma berlima. 

Tanpa menunggu lama kami pun berangkat. Dia bercerita berangkat dari Australia, lalu sampai ke Bali, kemudian menyeberang ke Pulau Jawa. Di Malang dia bercerita bersepeda di Gunung Bromo, sebelum akhirnya mencapai Blitar untuk istirahat. Dia berencana untuk bersepeda menuju Solo, awalnya dia ingin    melewati jalur Kediri, tapi saya sarankan untuk lewat Trenggalek-Ponorogo saja. Walaupun jalanannya lebih curam karena melewati gunung, tapi pemandangannya lebih indah dan tidak banyak kendaraan yang lalu lalang, terutama bis dan truk, karena memang bukan jalur utama.

Dia pun menyetujui pilihan tersebut. Awalnya kami berencana hanya mengantarnya sampai perbatasan Blitar-Tulungagung, tapi rupanya kami keasyikan gowes sambil ngobrol hingga akhirnya kami melewati kota Tulungagung dan mendekati perbatasan Kabupaten Trenggalek. Gowes beramai-ramai menuju perbatasan Kabupaten Trenggalek tidak terasa melelahkan walaupun jaraknya kurang lebih 40 km dari tempat kami mulai. Entah karena sambil ngobrol atau karena konturnya yang cenderung menurun.

                    

Nah, masalah tiba ketika perjalanan pulang. Perjalanan kembali menuju Blitar terasa sangat melelahkan, ya sepertinya karena perjalanan pulang ini adalah tanjakan halus sepanjang perjalanan.

Setelah beberapa km gowes kelelahan, akhirnya sampai juga di Blitar. Tinggal beberapa km lagi menuju rumah. Setelah cek endomondo, ternyata perjalanan tadi "hanya" 80km, kurang 20km lagi untuk mencapai 100km. Akhirnya setelah istirahat sebentar saya memutuskan untuk blusukan 20km lagi. Kali ini masuk hutan, bukan onroad.
Entah saya ada dimana yang jelas mblasak-mblusuk ke dalam perkebunan jati. Ban yang saya pakai adalah ban untuk jalan aspal, beruntung tanahnya sangat kering jadi masih sangat bisa dilalui naik sepeda.

Lucunya trek yang mungkin oleh sebagian orang akan dianggap sebagai trek XC, di sini justru dijadikan "Fun Bike" ulang tahun kota Blitar. Terbukti dengan banyaknya papan penunjuk arah. Iseng-iseng saya ikuti petunjuk-petunjuk arah tersebut. 



Ternyata memang cukup "Fun", ya seharusnya konsep Fun Bike memang seperti ini. Bukan bergerombol bersepeda mumutari  beberapa blok kota lalu berharap undian berhadiah...


Setelah blasak blusuk beberapa saat, akhirnya layar endomondo sudah menunjukkan 100km kurang sedikit. Waktunya untuk pulang ke rumah. Dan jalan pulang menuju ke rumah itu nanjaknya melelahkan..