Friday 11 November 2011

NJS Stamp? Okelah.. Tapi VIA Stamp dan JIS Stamp juga ga perlu disebutin lah (Demi Naikin Harga Jual)

Mungkin agak telat saya membuat tulisan ini, tapi ada pepatah lama: "Lebih baik telat daripada tidak sama sekali"

Di dalam demam sepeda Fixie ini ada salah satu "aliran" atau mungkin "style" (atau ya begitulah kira-kira), yang gampangnya disebut NJS atau Keirin...

Apa itu NJS? Berdasarkan Web ini NJS artinya adalah:

Prior to the JKA's founding, keirin races were overseen by the Nihon Jitensha Shinkōkai (日本自転車振興会?, lit. Japan Bicycle Promotion Association), or Japan Keirin Association, often abbreviatedNJS. Today the present JKA is responsible for fostering Japan's bicycle industry and regulating keirin racing in Japan.
In addition to licensing keirin racers, the association sets specifications for frames and parts such as wheel size, spoke count, frame geometry, and even weight and material of components. These requirements were established in 1957 in an attempt to prevent any racers from having equipment-related advantages.[1]
Because the foundation's main objective is supporting the Japanese cycling market, its bureaucracy is notoriously critical of foreign manufacturers attempting to enter the Japanese market. The Italian cycling equipment manufacturer Campagnolo has, though, received keirin racing certification.
A common misconception regarding certification is that it is a mark of quality, when in fact it is simply a mark of standardization; parts stamped with the NJS logo have become fashionable in recent years with some Western cyclists.

Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai NJS ini, karena saya memang tidak mendalaminya dan tidak ada minat untuk mempelajarinya.
Tapi yang sepanjang saya tau dari berbagai referensi, gampangnya NJS itu suatu asosiasi balap sepeda track Jepang, dengan regulasi yang dimilikinya, sehingga semua sepeda dan komponennya harus lulus regulasi tersebut, dibuktikan dengan Cap (stamp) NJS...

Nah, dengan kondisi ini, di beberapa kalangan fanatik, hobbyist, (dan mungkin juga) pedagang, dimanfaatkan sehingga akhirnya dapat meningkatkan harga jual (walupun pada akhirnya tidak cocok dengan penggunanya dan harganya juga ga realistis).
Tapi sekali lagi, saya tidak menyinggung masalah NJS ini, karena memang sudah ada segmennya dan kaum fanatiknya.

Karena dengan ada embel-embel NJS Stamp itu, maka "dipercaya" dapat meningkatkan harga jual...
Nah, yang repot itu kalo ada pedagang part sepeda dadakan yang memanfaatkan embel-embel stamp diluar NJS dengan harapan dapat menaikkan harga jual.

Contohnya saja: VIA dan JIS...
seperti yang saya temukan di sini dan di sini,

Baiklah, mari kita coba jabarkan dari berbagai referensi yang saya peroleh:

"VIA" ("Vehicle Inspection Authority") is stamped on all Shimano parts. It is an official approval stamp used to certify parts of Japanese vehicles - including bicycles. This mark signifies compliance with certain quality standards and is similar to the "UL" (Underwriters Laboratories) mark. Sumber
 Nah, dari kutipan kalimat tersebut terlihat jelas bukan?
Sekarang, mari kita lanjut ke JIS:
Japanese Industrial Standards (JIS(日本工業規格 Nippon Kōgyō Kikaku?) specifies the standards used for industrial activities in Japan. The standardization process is coordinated by Japanese Industrial Standards Committee and published through Japanese Standards AssociationSumber
Jadi, jika dilihat dari keterangan tersebut (kecuali NJS ya mungkin) cap VIA dan JIS itu sebenernya bukan menjadi hal yang patut dibanggakan, apalagi demi menaikkan harga jual...

Jika memang dengan ada stempel VIA dan JIS suatu barang jadi mahal, maka kaca mobil saya bisa jadi mahal donk kan, ada stempel JIS-nya



Hehehehe...

(jadilah pedagang yang baik dengan memberi edukasi yang tepat dan layak kepada calon pembeli, jangan hanya memanfaatkan suatu momen dan kondisi tertentu untuk menaikkan harga jual tanpa info yang tepat)

Salam

Gelar pendidikan tidak menjamin kesuksesan karir... (2)

Jika di tulisan sebelumnya saya menceritakan tentang kakak ipar saya, seorang lulusan SMP, mantan kuli dan juga pembantu rumah tangga (tukang kebun dan tukang cuci hewan peliharaan), yang kini sukses menjadi Direktur atas perusahaannya sendiri...

Di tulisan ini saya akan menceritakan seorang yang mungkin lebih apes lagi (dari segi latar belakang pendidikan dan juga pengalaman kerja) dari kakak ipar saya, namun dengan kesuksesan yang lebih tinggi dari kakak ipar saya.

Sebut saja pak D, dia merupakan rekan kerja kakak ipar saya, seorang kontraktor besi, spesialis pekerjaan las dan segala macam yang berhubungan dengan pekerjaan besi. Sering bekerjasama dengan kakak ipar saya apabila sedang ada proyek, bahkan sering juga saling kasih proyek. Orangnya cukup sederhana, perawakannya pendek dekil, mungkin jika tidak lagi nyetir SUV Kelas Menengah terbarunya orang gak akan nyangka dia adalah bos dari 2 buah workshop dan 1 pabrik di pinggiran Ibukota.

Dia tidak kaya secara tiba-tiba. Bukan seperti orang yang tiba-tiba ditelfon oleh orang lain "Pak, anda menang undian 6 Milyar!" tapi dirintis dengan penderitaan. Dulunya dia adalah sales keliling dari bengkel las milik bosnya. Keliling dari rumah ke rumah dengan sepeda bututnya, menawarkan pagar atau kanopi. Bahkan suatu saat dia pernah tidak bisa bekerja karena sepedanya bocor dan tidak punya uang untuk menambal.

Dan satu hal yang mengagetkan lagi...
Kakak ipar saya bilang: "gitu-gitu dia SD gak lulus loh"


.........

Baiklah....

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menurunkan semangat teman-teman yang mungkin sudah sekolah hingga Sarjana, Master, dan gelar lainnya (tapi pekerjaan/karir/usaha mentok disitu-situ aja). Tapi justru (semoga) bisa memacu untuk lebih semangat dan giat lagi.
Paling tidak ada penyemangat dalam diri sendiri: "Masak saya kalah ama orang ga lulus SD?!"

Dan juga sebagai renungan buat temen-temen yang masih menjadi budak Gelar...

Salam

Wednesday 19 October 2011

Ban Tahan Skid? Benarkah?

Oke, mungkin tulisan ini terlambat jika dibandingkan tren fiksih yang sudah mulai meredup.. Tapi tak apalah, toh tulisan ini tidak untuk ikut-ikutan tren semata...


(namun sebelumnya saya mohon maaf, terpaksa menyebutkan salah satu merk produk tertentu, tidak ada maksud review atau kepentingan pihak manapun, murni pandangan pribadi...)
Baiklah mari kita mulai...


Saya banyak melihat mereka (yang mengaku) Hipster atau para pesepeda fiksih yang menggunakan ban-ban impor, bahkan diantara mereka mengaku tahan skid. Ituloh salah satu bentuk mengerem dengan cara menghentikan laju roda belakang secara tiba-tiba, dengan demikian akan menimbulkan Friksi antara permukaan ban (karet) dengan permukaan jalan (aspal)..
Salah satu produk yang terkenal diantara para pengguna fiksih adalah Ban Cap Vittoria Randonneur. "Katanya" ban ini kuat buat skid karena ban ini memiliki beberapa bagian lapisan, sehingga ban  tidak akan cepat habis/bocor.


Tapi apakah demikian?
Mari kita telusuri dengan seksama.


Pertama,
Produsen menamai produknya dengan nama tertentu pastilah bukan tanpa tujuan. Biasanya nama suatu produk merepresentasikan fungsinya. Misalnya saja Vittoria Randonneur tersebut, coba sebelumnya kita googling dahulu apa arti Randonneur tersebut. 
Randonneuring (also known as Audax in the UK, Australia and Brazil) is a long-distance cycling sport with its origins in audax cycling. In randonneuring, riders attempt courses of 200 km or more, passing through predetermined "controls" (checkpoints) every few tens of kilometers. Riders aim to complete the course within specified time limits, and receive equal recognition regardless of their finishing order. Riders may travel in groups or alone as they wish, and are expected to be self-sufficient between controls. A randonneuring event is called a randonée or brevet, and a rider who has completed a 200 km event is called a randonneur.  Sumber
Bahkan dari Web Vittoria-nya sendiri, mengkategorikan sebagai ban City Trekking. Ketika saya googling mengenai review ban ini banyak yang mereview dari segi penggunaan touring.

Dan bukti yang paling nyata adalah ketika saya mudik ke Blitar kemarin bawa sepeda (ingat "Bawa Sepeda" bukan "Pake Sepeda"), saya bertemu dengan seorang Bike Packer asal Inggris yang sedang dalam misi keliling dunia. 





Mari kita zoom ban yang dia pakai...






Nah terlihat kan dia pakai Ban apa? Ya memang penggunaan sesuai dengan peruntukannya. Dan ketika saya melihat lebih detail, permukaan telapak ban sudah mulai terlihat permukaan merahnya... Ya saya rasa wajar, karena dia start dari Melbourne, Australia, kemudian masuk Indonesia via Bali, masuk ke Jawa Timur. Nanjak ke Bromo, sebelum ketemu kami di Blitar. 


Kedua,
Saya bukan ahli fisika dan memang tidak punya latar belakang ilmu pasti... Namun bagi saya adalah sebuah logika sederhana apabila sebuah Ban yang terbuat dari Karet (yang nota bene lebih lunak dari Aspal yang keras), apabila digerus dalam keadaan roda tidak berputar, maka tentu saja Karet akan kalah daripada Aspal...
Lain halnya jika ban tersebut terbuat dari Besi...


Nah, jika sudah demikian maka gak heran banyak pemakai Vittoria Randonneur mengeluh bannya habis kurang dari 6 bulan, padahal sudah beli mahal-mahal...


Memang ada ban cap Schwalbe Durano Skid yang menempatkan untuk pasar fiksih yang gemar skid... Tapi coba ingat lagi Poin kedua diatas...


Semoga dapat bermanfaat .


Salam :)

Thursday 6 October 2011

Segmentasi Pasar Memang Diperlukan dalam Berbisnis

Loh kok lagi-lagi jadi kayak tulisannya motivator gini? Mmmmm, engga juga sih, cuma mau berbagi pengalaman bertemu dengan klien pagi ini.
Sesuai dengan bidang usaha saya, di bidang pembersihan maka hari ini saya meeting dengan klien untuk pembersihan unit apartemennya di daerah Sudirman (sebenarnya bukan Sudirman juga sih, Casablanca tepatnya).

Sebagaimana pemahaman saya seperti umumnya, bahwa apartemen itu merupakan hunian alias tempat tinggal, alias rumah. Namun setelah sampai lokasi bersama sang klien, pemahaman saya tentang fungsi apartemen jadi bertambah. Sama halnya dengan ruko (rumah toko) atau rukan (rumah kantor), ternyata apartemen tersebut berfungsi juga sebagai kantor, alias tempat usaha. Rupanya dia tidak sendiri, praktek ini sudah umum dan diizinkan di gedung tersebut.

Baiklah, bukan mengenai apartemennya yang akan saya bahas di sini, tapi (sedikit intipan sok tau saya mengenai) bidang usaha si Klien.
Jika saya lihat sepertinya bidang usaha sang Klien bergerak di bidang Mode, terlihat dari banyaknya kostum, pakaian dan kain-kain di kantornya. Bahan yang digunakan cukup sederhana dan banyak kita lihat dimana-mana, yaitu Batik.
Lalu apa istimewanya? Batik kan sudah banyak beredar dan dijual dimana-mana. Di sini saya tidak membahas batiknya atau motifnya atau hal lain yang menyangkut batik ini (karena saya bukan ahli batik), apalagi banyak batik yang terpajang di kantornya tergolong "biasa", namun saya mau sedikit memberi gambaran bagaimana dia mengemas produk batik ini menjadi suatu hal yang ekslusif dan mahal.

Terlihat sang klien sangat pintar dalam menempatkan posisi untuk membidik pasar, alias segmentasi. Dia tidak hanya menjual batik sebagai sebuah produk pakaian saja, tapi juga mengemasnya menjadi satu kesatuan produk jasa yang menarik. Ternyata bidang usahanya adalah penata rias untuk acara pernikahan atau keperluan lain denga batik sebagai kostumnya.
Melihat domisili usahanya di sebuah apartemen mewah di kawasan Sudirman dengan layout ruangan yang juga minimalis mewah, maka sudah jelas dia membidik pasar menengah keatas. Namun, membidik akan jadi sebuah bidikan kosong apabila kita tidak kreatif mengemas dalam sebuah produk jasa tambahan, terlebih lagi apabila jasa tersebut sangat unik dan jarang ada orang lain yang sanggup.
Ya mungkin apabila dia hanya menjual batik sebagai suatu produk barang tanpa dikemas dengan produk jasa yang menarik lainnya (meskipun segmentasinya menengah keatas), orang belum tentu tertarik. Kasarnya begini: "ngapain beli batik doank di sana, mending ke Tanah Abang atau ke Butik sekalian".
Hal yang sama bisa saja terjadi di bidang usaha lainnya. Barang dengan harga Rp. 1.000 di pasaran bisa saja kita jual dengan harga Rp. 10.000 apabila kita mengemasnya dalam satu kesatuan dengan produk jasa lainnya yang menarik.

Dan tentu saja, segmentasi. Agar produk dan jasa yang kita jual jatuh ke pasar yang sesuai.

Sunday 25 September 2011

Surly Steamroller

Surly Steamroller ini sebetulnya bukan sepeda saya, tapi sepeda istri saya. Karena entah kenapa dia lebih suka single speed daripada multispeed. Gayung bersambut, seorang kawan menawarkan kami sebuah frameset Surly Steamroller dengan ukuran kecil.


Secara spesifikasi, berikut adalah sedikit kutipan dari website Bali Mountainbike selaku distributor resmi Surly di Indonesia:


Listen to veteran fixed gear riders long enough and they’ll start to wax philosophic about fixies, how the bike is an extension of one’s body, how the simplicity and the silence are pleasing to the senses, how riding one is at first unnerving and later addictive. As we have said since we introduced the Steamroller frameset, we won’t try to convince you that riding ‘fixed’ is better or special or why you should try it. You’ll have to determine that for yourself. But whether you’re old school or new hat, you’d be hard pressed to find a better canvas to build your ideal street machine.


It’s made from Surly 4130 CroMoly steel because steel is durable and responsive, things we like and we’re pretty sure you do too. Its geometry is tight compared to road frames and relaxed compared to twitchy track frames. It takes big tires because big tires make sensetire casings flex before the frame. It’s got almost no ‘features’, no pump peg, no housing stops, no cell phone or GPS mount. Just a set of water bottle braze-ons. Well, it does also have a nice brazed fork crown we think looks pretty snazzy. If you’re like us, you may consider less tangible elements (such as ride quality) to be features, and it’s got these in spades. This is a frame meant for riding. Everyday. It was designed by cyclists for cyclists. It’s most at home on the street, but it’s also track legal and does a pretty fair job on trails too. It’s a fixed gear frame in the tradition of fixed gears, before there were freewheels or handbrakes (effective ones, anyway), harkening back to a time when big tires weren’t a design feature but a necessity, when a ride was an adventure


But hey, don’t let us convince you. Try one out. It may just become your favorite bike.
  • Tubing: 100% CroMoly steel. Main triangle is double-butted. TIG-welded
  • Rear dropouts: Investment cast Surly track dropouts, 120mm spaced
  • Brake compatibility: Standard reach post-mount road calipers, but there are no stops for housing
  • Braze-ons: None, baby. Pure. OK, we put one set of water-bottle mounts on the seat tube ’cause we’re not camels
  • Seatpost diameter: 27.2mm
  • Seatpost clamp: 30.0mm Surly stainless, included
  • Headset: 1–1/8" threadless
  • Bottom bracket shell:  68mm wide, threaded English 1.37" x 24t
  • Tire clearance: Room for tires up to 700 x 38mm. Individual tire and rim combos affect tire clearance, but figure on being able to use tires up to 32mm with fenders (p.s.- use clip-on fenders)
  • Chainring clearance: Heavy manipulation of the chainstays gives room for a 50t ring while maintaining chainline. Track crank-compatible.
  • Colors: Grey-Green or Black
  • Weight: 56cm = 2000g (4.5 lbs) Fork - uncut = 850g (1.9 lbs)

Surly Steamroller ini banyak mendapat review positif di berbagai media, beberapa diantaranya adalah Bike RadarJohn Prolly, bahkan mendapat point 4,43 dari 5 di Roadbike Review, dan juga di Sheldon Brown.

Hampir setahun Surly ini berada di tangan kami. Secara umum banyak yang salah paham bahwa Steamroller ini adalah frame track (Track Bike) hanya serta karena drop out belakangnya Track End. Bukan, Steamroller tidak memposisikan sebagai frame track (untuk balap di velodrome), tapi lebih kepada frame urban atau frame commuter yang cukup solid dan nyaman, dibuktikan dengan clearance ban pada fork dan rear triangle yang cukup besar (hingga 700c x 38).
Set-up steamroller saya adalah sebagai berikut:

  • Frame: Surly Steamroller size 49 (S) 4130 Double butted chromo w/ Headset Ritcheycomp + Fork Surly.
  • Wheelset: Rigida DP 2000 rim w/ Novatec Hub (fixed 17t, freewheel 18t) rear, Shimano Tiagra front
  • Tire: Kenda Hybrid 700c x 38
  • Crankset: Shimano Exage 46t + Shimano UN25 BB
  • Chain: United
  • Pedal: wellgo + toeclip
  • Seatpost, Stem, Handlebar: United
  • Saddle: Specialized Evolution (made by Selle Italy)
  • Brake: Tektro R350 + BMX lever
Sengaja saya maksimalkan pemakaian ban hingga batas maksimum clearance ban karena frame ini akan saya jadikan sepeda commuting yang (harus) nyaman. Dengan ban cukup besar saya jadi cukup percaya diri untuk melalui lubang-lubang aspal (aspal Jakarta tidak selamanya mulus), dan lagipula tidak harus memompa sampai 100psi (sebagaimana ban-ban kurus lainnya) cukup sampai 60-80psi.

Sepeda ini beberapa kali saya gunakan untuk century ride dan sangat nyaman dipakai, karena ya itu tadi memang diciptakan sebagai frame commuting, bukan frame kompetisi.

Friday 23 September 2011

Gelar pendidikan tidak menjamin kesuksesan karir...

Kenapa tiba-tiba tulisannya berbau kayak motivator? Eits, sebentar dulu... (Jujur saya paling eneg sama motivator atau mereka yang cuma bisa menjual harapan-harapan manis dari mulutnya...)
Ini sama sekali ga ada hubungannya dengan motiv(b)asi... Ini cuma sekedar cerita berbagi pengalaman sukses (walaupun saya tau, menurut dia pasti dia belum mencapai sukses, tapi saya memandang dia cukup sukses apabila menilik dari sejarahnya)....

Cerita ini adalah cerita tentang kakak ipar saya...
Sore ini ketika saya berkunjung ke rumahnya, tiba-tiba handphonenya bunyi. Berhubung posisinya sedang makan, maka dia pun mengaktifkan loudspeaker handphone... Rupanya si penelpon adalah telemarketer kartu kredit yang sedang menawarkan promo produk, karena tertarik dengan promonya maka akhirnya dia pun menanggapi penawaran-penawaran si telemarketer tersebut sampai pada akhirnya si telemarketer tersebut meminta data-data diri kakak ipar saya... Kurang lebih seperti ini percakapannya:
...
Telemarketer (TM): "ada alamat email pak, nanti form akan kami kirim via email?"
Kakak Ipar (KI): "oooh ada... bla-bla-bla-bla@bla-bla-bla.com" (untuk kepentingan bersama, alamat email sengaja saya samarkan"
TM: "baik pak, bapak sekarang bekerja di perusahaan apa?"
KI: "di PT bla-bla-bla tersebut..."
TM: "sudah berapa lama pak bekerja di PT tersebut?"
KI: "sekitar 2-3 tahunan ya..."
TM: "sebagai apa pak?"
KI: "direktur..." (sengaja dijawab singkat-singkat karena sambil mengunyah makanan)
TM: "oooh baik.... perusahaannya bergerak di bidang apa pak?"
KI: "kontraktor"
TM: "omzet pertahunnya berapa pak kalo boleh tau?"
KI: "eeeerrrr... kemarin sih 10M ya..."
TM: "ooh baik... pendidikan terakhir bapak apa pak?"
KI: "SMP..."
..... (sempat agak hening sebentar sampai akhirnya sang telemarketer melanjutkan pembicaraannya...)...

Ya memang kakak ipar saya hanya lulusan SMP, sampai kini tidak bisa berkomputer, tidak bisa bicara bahasa inggris, namun menjadi direktur atas perusahaan yang dibuatnya sendiri dengan modalnya sendiri.
(bandingkan dengan kebanyakan anak-anak generasi masa kini yang high tech, fasih berbahasa inggris, bahkan lebih fasih bahasa asing daripada bahasa Indonesia, namun hanya omong kosong belaka, tidak banyak yang punya kontribusi berarti bahkan cenderung konsumtif)
Usianya pun bisa dibilang relatif mudah, pertengahan 30an, mempunyai seorang istri, seorang anak yang lucu dan penurut, punya sebuah mobil sederhana, rumah mungil di salah satu cluster di Tangerang, punya sebidang kebun jati di kampung halaman, sebidang tanah di pinggiran ibu kota (dan aset-aset yang tidak diketahui lainnya). Namun semua hal-hal tersebut tidak serta membuat dia sombong. Penampilannya pun biasa saja. Istrinya pun juga biasa saja (mungkin tidak seperti ibu-ibu lain yang bersuami kaya yang lantas suka bersolek dan bersosialita) pekerjaanya tetap memasak masakan untuk bekal suami kalau beraktivitas dan mengurus anak yang energinya luar biasa. Tetap menjadi sebuah keluarga yang sederhana....
Bahkan ketika tadi siang saya ikut meeting tender dengan kakak ipar saya, di sela-sela meeting dia sempat ngobrol ringan dengan rekannya... Yaitu adu murah-murahan baju... Rp. 40.000 vs Rp. 25.000...

Namun dibalik semua itu terdapat sebuah perjalanan panjang yang penuh cobaan... Dia pernah cerita ke saya bahwa waktu sekolah SMP dulu, dia pernah jadi kuli aspal untuk tambahan uang sekolah dan biaya adik-adiknya. Perjalanan untuk menjadi kuli aspal pun juga tidak mudah, dia harus menaiki sepeda Onthelnya ke lokasi proyek yang berjarak sekitar 20km dari rumahnya (dan lokasi rumah tersebut penuh dengan tanjakan).

Selepas SMP dia langsung hijrah ke Jakarta, bekerja untuk mencari tambahan uang untuk orang tua dan adik-adiknya yang masih sekolah. Pekerjaan pertama di Jakarta adalah menjadi pembantu di seorang pengusaha kaya. Salah satu tugasnya adalah memandikan dan memberi makan anjing-anjing dan monyet peliharaannya...
Lalu pernah juga menjadi sales obat ikan dan keripik. Juga pernah menjadi penjual ayam goreng. Sampai pada akhirnya dia memiliki cukup modal untuk membeli lapak di pinggir jalan untuk berjualan tanaman. Dari tanaman inilah dia mulai belajar bagaimana berbisnis dalam skala lebih besar, menjadi supplier untuk perusahaan lain. Sampai akhirnya cukup modal untuk membuat sebuah PT.
Setelah PT berdiri pun juga tidak serta mudah, cobaan demi cobaan dari ditipu klien hingga ditipu pegawai sendiri juga pernah dialaminya. Namun semua hal itu tidak membuatnya putus asa, malah kebalikannya proyek demi proyek berdatangan...

Jika anda melihat langsung sosoknya yang sederhana, mungkin anda sendiri tidak percaya kalau ternyata orang yang anda lihat tersebut merupakan seorang pengusaha dengan omzet puluhan milyar.
Orang seperti kakak ipar saya tidak sendiri, saya mengenal satu lagi seorang pengusaha telur kaya raya di kampung halaman istri saya.
Pada mulanya dia hanyalah seorang kuli peternak telur, dengan pekerjaan sehari-hari selain mengangkut hasil panen juga membersihkan kotoran ayam. Rumahnya pun hanya terbuat dari bilik (gedheg). Sampai akhirnya karena karena kerajinannya, bosnya memberikan modal 300 ekor ayam untuk dikelola sendiri. Perlahan ayam-ayam tersebut dikelola, sampai pada akhirnya kini ayamnya sudah mencapai jutaan ekor tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Rumahnya besar-besar dan ada beberapa (bayangkan dengan ukuran setara rumah di wilayah Pondok Indah), truknya pun puluhan... Namun hal itu tidak serta merta membuatnya sombong. Pada saat pernikahan kami beberapa bulan lalu, dia terlihat menjadi rewang tamu, yaitu orang yang bertugas melayani dan menjamu tamu yang hadir, mulai dari mempersilahkan duduk, hingga mengambilkan hidangan makan. Padahal kalau dipikir-pikir dia itu termasuk salah satu orang terkaya di kabupaten dan juga mantan bosnya istri saya, tapi masih mau untuk melakukan hal-hal seperti itu...

Cerita saya diatas bukan bermaksud untuk menyepelekan pendidikan dan (hanya) bergantung pada kerja keras dan nasib... Sama sekali bukan itu...
Bagaimanapun juga pendidikan itu penting, penting untuk wawasan ilmu dan wawasan umum lainnya.
Tapi yang membuat saya tidak setuju adalah orang yang membudak dirikan pada gelar, bahkan ada yang dibela-belain sampai beli gelar, menyewa joki dan hal-hal curang lainnya....

Pertanyaannya adalah.... Untuk Apa?

Sunday 22 May 2011

Pernikahan Galih dan Santi ( II, Prosesi)

Yap. Akhirnya saya menikah juga…
Banyak komentar yang mengatakan pernikahan kami terlalu mendadak. Sebenarnya tidak bisa dibilang mendadak juga sih, untuk persiapan kami sudah kurang lebih 3 bulan sebelumnya.
Hanya 3 Bulan? Ya 3 bulan… Malah menurut saya itu terlalu lama, saya mengharapkan bisa lebih cepat lagi, namun ada hal-hal tertentu yang membuat persiapannya sedikit tergeser.

Proses lamarannya pun tidak seperti pasangan lain, dimana pihak keluarga pria datang berbondong-bondong ke kediaman keluarga perempuan untuk meminang anak perempuannya.
Proses lamaran saya sangatlah sederhana, hanya saya sendiri datang ke rumah orang tuanya di Blitar (waktu itu sekalian mampir dari lokasi proyek yang kebetulan tidak jauh). Pada waktu makan malam bersama di hadapan orang tuanya dan kakak-kakaknya saya pun mengutarakan maksud saya untuk menikahi Santi. Tidak ada tanggapan negative dari orang tua Santi, karena sebelumnya kami sudah saling mengenal baik. Setelah “lamaran” saya yang nekat itupun pihak orang tua Santi menanyakan kapan mau diadakan acaranya, saya meminta bulan April (yang mana hanya tinggal 1 bulan lagi), tentu saja permintaan saya cukup mengagetkan banyak pihak, karena dinilai terlalu cepat. Satu hal penting yang membuat permintaan tanggal tersebut terlalu cepat sehingga harus digeser adalah karena Kayu Bakar yang belum pada kering. Loh apa hubungannya? Nanti akan saya gambarkan di bawah.
Akhirnya setelah beberapa pertimbangan disepakati  tanggal 1 Mei 2011 sebagai tanggal pernikahan kami.

Kenapa sih terburu-buru sekali? Apakah sudah ngebet, atau jangan-jangan…?
Ooh tidak, jangan berburuk sangka dulu, saya berprinsip, “Apabila ada niat baik, sebaiknya segera dilaksanakan”. Bagi saya menikah, mempunyai niat yang sangat baik dan mulia, apabila tidak segera dilaksanakan saya khawatir banyak hal-hal yang tidak diinginkan akan menjadi penghalang. Dan rupanya memang benar, tidak beberapa lama setelah saya melamar, satu-persatu proyek datang, ya lumayanlah untuk ongkos berangkat ke Blitar dan juga sekaligus untuk tambahan biaya pernikahan.

Masih ada waktu 2 bulan untuk mempersiapkan pernikahan kami. Saya dan Santi bahu-membahu untuk mencari biaya nikah dan segala pernak-perniknya, sementara pihak keluarga Santi di Blitar mempersiapkan tempatnya. Tak terasa waktu berjalan cepat, dan akhirnya saya, kedua orang tua saya dan Santi berangkat ke Blitar. Sengaja kami berangkat 10 hari sebelumnya, karena juga untuk membantu mempersiapkan acara-acara.

H-4
Rumah sudah mulai ramai dengan orang-orang “rewang”. Rewang dalam bahasa Jawa artinya membantu, yang dimaksud rewang disini adalah para tetangga dan kerabat yang secara sukarela membantu acara, baik itu untuk masak, mengatur lokasi, menerima tamu dan seksi sibuk lainnya. Mereka secara bergiliran sukarela dan bergotong-royong bahu-membahu dari pagi hingga pagi keesokannya untuk mensukseskan acara pernikahan kami. Jika ditotal yang rewang untuk acara kami kurang lebih ada 180 keluarga. Walaupun tidak dalam bentuk uang, namun kami berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok para rewang selama mereka melakukan rewang. Kebutuhan pokok yang dimaksud adalah berupa makanan/sembako selama melakukan rewang.
Yang membuat saya terharu adalah mereka sangat tulus dan ikhlas melakukan rewang ini, bahkan sampai meninggalkan pekerjaannya untuk melakukan rewang.



Terlihat para ibu-ibu melakukan tugas masaknya di dapur, sementara para pria memotong kelapa di luar dan mempersiapkan kawah untuk jenangan. Yang dimaksud kawah untuk Jenangan disini adalah sebuah kuali besar dengan diameter kurang lebih 1,5m yang terintegrasi dengan kompor yang terbuat dari tanah liat. Untuk acara pernikahan kami disiapkan 2 kawah untuk Jenangan. Jenangan itu sendiri adalah Dodol. Dodol yang dibuat rasanya berbeda dengan dodol kebanyakan.






Dapat dilihat di gambar bahwa semua makanan dimasak dengan menggunakan tungku dan kayu bakar. Nah terjawab sudah di cerita awal kenapa tanggal pernikahan kami di geser karena menunggu kayu bakar kering.

Menurut kepercayaan penduduk sekitar, calon penganten dilarang untuk masuk ke dalam dapur apalagi terlibat dalam proses memasaknya. Namun larangan tersebut tidak terlalu saya perhatikan karena hal ini langka dan sekali seumur hidup saya alami.
Apalagi larangan bahwa calon pengantin dilarang untuk ikut mengaduk jenangan juga tidak saya perhatikan, saya iseng untuk mencoba gimana rasanya mengaduk adonan dodol tersebut, sangat berat rasanya, hanya beberapa kali adukan saya sudah menyerah. Sebenarnya calon pengantin dilarang untuk mengaduk, karena dikawatirkan dapat merusak adonan. Entah apa hubungannya, tapi percaya tidak percaya, tapi larangan tersebut ada benarnya juga, besoknya terdengar kabar bahwa terdapat 2kg dodol yang gagal alias gosong, dodol yang gagal berasal dari kawah yang saya aduk, saya pun curiga jangan-jangan yang gagal itu berasal dari adukan saya.

H-3
Tenda sudah terpasang beserta dekorasi dan pelaminannya. Tidak seperti di Jakarta dimana tenda dipasang mendadak, paling tidak sehari sebelumnya, disini tenda sudah di pasang jauh hari sebelumnya.
Setelah tenda selesai terpasang, tiba-tiba hujan badai melanda. Memang saat itu lagi musim hujan badai, hamper setiap hari hujan. Hal ini  membuat kami kawatir. Tapi sepertinya hal ini sudah diantisipasi oleh tokoh spiritual setempat.
Oleh beliau sudah disiapkan mantra khusus agar hujan dialihkan selama 3 hari, dan memang selama 3 hari acara kami tidak hujan sama sekali, setelah acara kami selesai barulah hujan turun kembali.





Pada hari ini dilakukan juga proses Ater-ater, yakni mengantarkan paket makanan yang juga sekaligus menjadi undangan kepada keluarga-keluarga yang tinggalnya jauh. Ater-aternya cukup jauh juga, sampai ke kabupaten tetangga, ya karena memang persebaran keluarganya memang sampai sana.

H-2
Hari pertama proses acara pernikahan, biasa disebut Manggulan (prosesi pra nikah). Namun pada acara kami, proses tersebut hanya nama belaka, karena kami tidak menjalankannya secara penuh. Kami hanya menerima tamu dan bersilaturahmi bersama tamu lainnya. Tamu yang datang berasal dari lingkungan sekitar dan kerabat dekat.
Sebelum acara manggulan dan sebelum kami boleh menerima tamu, paginya terlebih dahulu dilakukan acara kenduren. Yaitu memohon doa dan mengucap syukur kepada Allah SWT agar acara berlangsung sukses.
Makanan pada kendurenan tersebut dibagi rata kepada seluruh rewang dan tetangga-tetangga. Ayam yang dipotong pun ayam sembarangan, melainkan ayam kampong Jago yang sangat besar. Kami sebagai pengantinnya diwajibkan menghabiskan 1 porsi penuh nasi lengkap dengan lauknya dan 1 mangkok air cem-ceman (air rendaman kembang setaman). Entah apa maksudnya tapi ya dihabiskan sajalah, toh saya juga laper.





Setelah kendurenan baru kami mulai menerima tamu-tamu yang mulai berdatangan bahkan hingga malam hari.
Pada malam hari pun masih banyak tamu yang tetap tinggal dan bermain kartu bersama yang lain. Acara pernikahan kami juga menjadi wadah silaturahmi tetangga, kerabat dan keluarga yang mungkin sudah jarang ketemu.



H-1
Biasa disebut Becekan. Sama seperti kemarin, hanya sekedar nama belaka, yang utamanya kami tetap menerima dan bersilaturahmi dengan para tamu yang datang. Bedanya di hari ini tanpa ritual kenduren terlebih dahulu.
Saudara-saudara yang tinggalnya cukup jauh sudah pada mulai datang, mulai dari Solo, Jogja, Surabaya, Malang, hingga Banyuwangi.

Pada malam harinya (tepat tengah malam) ada acara “Nebus Kembar Mayang”, yaitu sebuah ritual yang menceritakan pihak keluarga pria datang meminta anak perempuannya untuk dinikahkan. Ritual dikemas dalam sebuah dialog jenaka dalam bahasa Jawa.


Kembar mayang diwujudkan dalam 4 buah rangkaian Janur kuning dan kembang setaman. Setelah proses nebus kembar mayang, maka kembar mayang tersebut di doakan. Tentunya doa disini dikemas dalam adat kejawen yang sangat kental. Mohon agar tidak mencampur adukkan dari sudut pandang agama manapun karena ritual ini merupakan murni kebudayaan, yang tentunya harus kita jaga dan lestarikan.

Hari H
Hari H pun datang, hari yang mendebarkan bagi kami. Meskipun sudah latihan di hadapan penghulu di kantor KUA beberapa hari sebelumnya, namun tetap saja tegang, apalagi dihadapan puluhan mata memandang dan sorotan lampu studio (yang menambah panas-tegang suasana).
Beruntung saya tidak salah ucap, meskipun agak sedikit terbata-bata karena terharu.
Dan yang ditunggu-tunggu pun tiba, sebuah kata: “SAH!” dari saksi dan penghulu.
Setelah penanda-tanganan buku nikah, barulah sang pengantin “dipajang” di pelaminan.



Tapi sebelum dipajang, ada sedikit ritual yang menggambarkan pertemuan pengantin dan kedua keluarga.


Bingung bagaimana wujud Kembar Mayang yang didoakan semalam? Jika anda lihat ada kedua gadis yang memanggul rangkaian janur kuning, nah itulah kembar mayang. 2 pasang kembar mayang harus dibawa oleh 2 pasang perjaka dan perawan (yang mungkin sudah susah di cari di kota besar).

Kami diarahkan oleh tokoh spiritual pada sebuah kain yang atasnya terdapat wadah perak berisi air kembang setaman dan telor, kendi berisikan air putih, dan 2 buah sapu lidi. Kami diharuskan untuk memutari diatas kain tersebut sebanyak 3 kali.



Setelah kami mengitari sebanyak 3 kali, pengantin wanita diharuskan untuk membasuh kaki sang pengantin pria dengan air kembang setaman tersebut masing-masing 3 kali dan memecahkan telur tersebut di dalam air kembang setaman tersebut.



Proses selanjutnya adalah Sinduran, pihak ibu dari pengantin wanita memberikan minum dari kendi kepada kedua pengantin, dengan maksud bahwa sang ibu sudah memberikan restu kepada kedua mempelai, selanjutnya ibu pengantin wanita menyelimuti dengan kain (yang dinamakan kain sindur) dari belakang kedua pengantin dan ayah dari pengantin wanita menuntun di depan, untuk diantarkan ke pelaminan.




Setelah sampai pelaminan, proses berikutnya dinamakan Nimbang/Pangkon, dimana bapak pengantin wanita duduk di tengah bangku pelaminan melambangkan sikap kekeluargaan bahwa seorang menantu harus diperlakukan sama dengan anak kandungnya.


Selanjutnya adalah proses Gunokoyo atau Kacar-kucur, dimana pengantin pria menuangkan kain yang berisi beras ke pangkuan pengantin wanita lalu kemudian diserahkan ke ibu pengantin wanita, melambangkan suami memberikan nafkah kepada istrinya.




Setelah itu prosesnya adalah Dhahar Kembul atau Dhahar Klimah dimana kedua pengantin saling menyuapi melambangkan bahwa kedua akan mempergunakan dan menikmati bersama apa yang mereka miliki.


Setelah suap-suapan tersebut proses berikutnya adalah Mertui atau Mapag Besan, kedua orang tua pengantin wanita menjemput kedua orang tua pengantin pria di depan rumah dan mempersilahkan mereka masuk ke tempat upacara. Selanjutnya mereka berjalan bersama menuju tempat upacara, ibu-ibu berjalan di depan, bapak-bapak mengiringi di belakang.


Proses terakhir adalah Sungkeman, sepasang pengantin melakukan sungkem kepada kedua belah orang tua. Pertama kepada orang tua pengantin wanita lalu dilanjutkan kepada orang tua pengantin pria. Sungkem adalah bentuk penghormatan tulus kepada orang tua.


Setelah semua proses tersebut dilaksanakan, proses selanjutnya adalah foto-foto bersama tamu. Cukup melelahkan juga, mengingat cukup banyak tamu yang datang.

Pernikahan Galih dan Santi ( I, Pendahulan)

Yap, akhirnya setelah hampir 4 tahun kami pacaran, akhirnya kami menikah juga pada tanggal 1 Mei 2011 yang lalu di Blitar, Jawa Timur.

Sebelum saya menceritakan bagaimana acara pernikahan kami berlangsung ada baiknya saya menceritakan sejarah pertemuan saya dengan Santi.

Saya mengenal Santi sekitar pertengahan tahun 2007, pada waktu itu kami berdua aktif dalam kegiatan Bike To Work. Baik saya maupun Santi sama-sama senang bersepeda. Pada waktu itu Santi masih bekerja di salah satu perusahaan operator selular dan saya masih menjadi karyawan magang di salah law firm, maklum statusnya masih mahasiswa.

Oleh karena sering berkomunikasi dan bersepeda bareng, akhirnya pada tanggal 2 September 2007 kami memutuskan untuk berpacaran.

Sama halnya dengan pasangan lain dimana mengalami pasang-surut hubungan, kami pun juga mengalami hal yang sama. Tawa, canda, duka sudah menjadi hal yang biasa.
Namun kami tetap berusaha agar hubungan kami tetap berjalan dan kami juga berusaha agar kami tidak seperti pasangan-pasangan muda lainnya.
Kami memilih menggunakan “bahasa Isyarat” yang kami ciptakan sendiri baik untuk komunikasi ataupun untuk “panggilan sayang”. Agar tidak membosankan, tentu “bahasa Isyarat” tersebut harus sering diperbarui, meski kadang kami juga tidak paham artinya.

Tidak seperti kebanyakan pasangan muda lainnya yang sering bersenang-senang menghabiskan waktu di mall, café ataupun tempat hiburan lainnya, kami justru jarang menghabiskan waktu di tempat-tempat tersebut. Kami justru banyak menghabiskan waktu di trek sepeda. Terutama apabila ada turnamen sepeda, Santi dengan setia menemani saya. Menurutnya, Santi sangat bangga dengan saya, meskipun saya tidak pernah juara sedikitpun.
Selain, menghabiskan waktu di trek sepeda kami juga sering menghabiskan waktu sebagai pedagang keliling, sudah banyak barang-barang yang kami jajakan bersama, mulai dari spare part sepeda, pakaian, sepatu, hingga handphone.

Tak terasa lebih dari 3 tahun kami bersama, melewati masa-masa susah-senang, sedih-bahagia, hingga pada akhirnya pada awal tahun 2011 saya bilang ke Santi “Nikah Yok!!”

Monday 17 January 2011

Kompilasi Artikel Galihleo (yang mungkin berguna) di Sepedaku.com

Seorang Kawan pernah minta izin ke saya untuk mengkompilasi tulisan-tulisan saya di forum Sepedaku.com di blognya... Wah, itu merupakan suatu kehormatan bagi saya, dan tentu saja saya izinkan... Namun, kendala-kendala teknis yang menyebabkan tulisan saya urung di update di blognya. Padahal saya juga sudah di add sebagai salah satu admin blognya, tapi masih saja masih belum bisa update di blognya...

Oke, berikut saya akan coba kompilasikan link-link tulisan saya, pada post berikutnya akan saya jabarkan satu persatu isinya...


  1. Berbagi tips bleeding Hayes 9 sendiri dan mengakali bocor di lever...
  2. Bikin Fixed Gear Hub Sendiri!
  3. tentang leverage ratio
  4. Fox Vanilla RL custom by om Chang (review hasil service n custom)
  5. Engagement Point (jangan liat freehub dari jangkriknya)
  6. Jangan Lupakan Crown Race
  7. F2B (Fixie to Bogor)
  8. F2G (Fixie to Gadog)
  9. Mengakali keterbatasan Skid Patch
  10. Membuat Adaptor Presta Sendiri
  11. Mendekin Crank Arm
  12. Fixie to Anyer
  13. Teknologi pada Fixed Gear
  14. Komponen Fixie itu ya Fixed Gear Hub, bukan yang Lain...
Jangan sungkan-sungkan untuk mengklik dan menkomentari link tersebut (harus terlebih dahulu jadi member forum Sepedaku.com dahulu tentunya)...

Sunday 16 January 2011

Rumah Ramah Lingkungan versi Galihleo

            Sebenarnya Konsep Rumah Ramah Lingkungan kami sudah berlangsung sejak lama, sejak dari awal rumah kami (rumah orang tua saya lebih tepatnya) dibangun. Pada awalnya hanya berupa sebuah pembuatan resapan air yang bertujuan agar air hujan tidak lama menggenang di taman dan beberapa buah tanaman untuk menghalau sinar matahari langsung sekaligus bertujuan untuk lebih menyegarkan suasana. Namun dengan bertambahnya waktu (dan rezeki) maka satu persatu unsur “Ramah Lingkungan” dan “Rendah Emisi” mulai terbentuk.

            Memang, kami masih merasa Emisi yang kami hasilkan masih cukup tinggi, namun kami akan terus berupaya dan berinovasi agar apa yang kami lakukan benar-benar mendekati “Zero Emission” alias tidak ada emisi sama sekali.

Kami merasa dengan Ramah Lingkungan, kami mendapatkan beberapa keuntungan antara lain:

  1. Hemat Energi, tentu saja. Karena energi yang kami gunakan terutama untuk Energi Listrik semakin sedikit.
  2. Lebih Irit, tentu saja semakin sedikit Energi yang kami beli, semakin sedikit pula uang yang harus kami keluarkan.
  3. Lebih sehat dan ramah lingkungan.
           

Berikut sedikit gambaran mengenai unsur-unsur “Rumah Ramah Lingkungan” kami:

  1. Membangun atap/plafon yang tinggi.
Keuntungan memiliki atap yang tinggi adalah sirkulasi udara yang cukup baik, sehingga dengan sendirinya ruangan akan menjadi sejuk.
Pada rumah kami yang memiliki beberapa bangunan terpisah antara ruang satu dengan ruang lainnya, atap tinggi terdapat di Kamar saya sediri dan ruang tengah/ruang tamu.

Dengan plafon yang tinggi, otomatis penggunaan AC untuk pendingan ruang menjadi sangat minim. 


  1. Membuat beberapa titik resapan air.
Terdapat sekitar 3 titik resapan di rumah kami. Selain bertujuan untuk drainase agar air hujan tidak lama menggenang di taman, juga berfungsi sebagai penyerap air hujan agar pasokan air tanah di daerah kami tidak cepat habis.

Jenis resapan air yang kami gunakan adalah kombinasi Batu, Kerikil dan Ijuk yang di buat dalam sebuah bak di dalam tanah. Oleh karena kontur rumah kami yang lebih rendah dari jalan, maka dengan adanya resapan air ini sangat membantu agar air hujan tidak menggenang rumah kami.


Kebetulan saya tidak bisa mengambil gambarnya, karena ya sudah berada di dalam tanah, namun kebetulan saya menemukan dari Blog ini ya gambarnya kurang lebih seperti itu lah, hanya saja di atas kerikil-kerikil tersebut ditambahkan ijuk sebelum ditutup dengan lapisan tanah.

Sedikit ilustrasi titik rumah kami yang menggunakan resapan air sebagai berikut:


Seperti yang dapat anda lihat, banyak terdapat kerikil-kerikil di bawah pohon tersebut, di situ terdapat 2 titik resapan air.

  1. Menanam pepohonan.
Terdapat kurang lebih 50 tanaman dari berbagai jenis baik tanaman kecil, tanaman dalam pot dan tanaman besar (Pohon). Mungkin sebagian besar kita sudah mengetahui apa-apa saja fungsi dari pepohonan tersebut bagi rumah kita.
Dengan adanya pepohonan tersebut, selain dapat memperindah suasana, juga sebagai “Paru-paru” rumah kami. Akar-akar pepohonan tersebut secara langsung menjadi resapan air alami. 


Gambar di atas adalah sedikit dari taman rumah kami. Jika anda lihat di pojok gambar terdapat sebuah tong komposter, kami juga menggunakan komposter tersebut untuk menjadikannya sebagai pupuk organik tanaman-tanaman kami.


  1. Memasang PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya).
Dalam artikel ini saya tidak akan menjelaskan apa itu PLTS, penjelasan mengenai PLTS sudah dijelaskan cukup bagus di blog ini (tanpa ada unsur komersialisasi tentunya).

Terima kasih kepada CV. Surya Sumunar yang telah menyediakan PLTS untuk rumah kami.




Walaupun masih terbatas untuk menggantikan 3 titik lampu, namun dengan adanya PLTS ini kami secara langsung sudah mandiri secara energi. Kami tidak membutuhkan aliran listrik dari PLN untuk mengaliri 3 buah lampu kami.

Saat ini pemasangan PLTS sudah menjadi Alternatif yang sangat tepat, terutama bagi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dimana intensitas penyinaran matahari sangat stabil dan bagus. Selain itu PLTS sangat minim perawatan.

Rencana jangka panjang kami adalah menambah beberapa titik lampu dengan lampu tenaga surya tersebut dan menggunakan PLTS sebagai sumber daya untuk perangkat-perangkat yang membutuhkan daya listrik besar, seperti Kulkas, Mesin Cuci, Setrika, namun masih terbentur dengan faktor biaya.

  1. Menjadikan Marmut sebagai “Mesin Pemotong Rumput Alami” dan “Mesin penghasil Pupuk Kompos”.
Awalnya kami memelihara marmut hanya karena gemas melihat bentuknya yang lucu. Dari awal memang kami sengaja melepas marmut ke halaman taman agar marmut-marmut tersebut bebas memakan rumput-rumput taman. Setelah lama-lama diperhatikan rupanya marmut-marmut tersebut bisa jadi Mesin Potong Rumput Alami. 

Dari awalnya cuma ada 2 ekor marmut, akhirnya kami ketambahan marmut-marmut hingga menjadi 6 ekor! Tapi 6 ekor kami rasa terlalu banyak, selain cukup berisik (ya marmut memang suara cukup keras apalagi jika mereka sedang mencari perhatian), jumlah mereka yang cukup banyak tidak seimbang dengan pertumbuhan rumput-rumput taman. Hingga akhirnya mereka sering kelaparan dan memakan tanaman hias yang ada.
Terpaksa kami mengurangi hingga menjadi 4. Namun baru saja 1 ekor marmut kami mati, hingga akhirnya tersisa 3 ekor. Saat ini kami sedang mengamati apakah 3 atau 4 ekor marmut yang ideal sebagai pemotong rumput untuk taman kami yang seluas kurang lebih 4x8 meter.



Selain menjadi Mesin Pemotong Rumput alami, Marmut juga merupakan penghasil pupuk kompos yang cukup baik. Kotorannya yang berbentuk seperti granule sangat baik untuk tanaman-tanaman lainnya, karena materi-materi yang terkandung di dalamnya dapat diserap secara cukup oleh tanah (bandingkan jika pupuk dalam bentuk hancuran atau bubuk, terkadang materi yang diserap berlebihan dari kebutuhan). Hasilnya tanaman-tanaman hias terutama tanaman dalam pot terlihat lebih segar dari biasanya dan rumput-rumput taman terlihat lebih segar dan hijau. Jadi jika kita perhatikan secara seksama, terdapat siklus alamiah secara kecil-kecilan; Marmut memakan rumput, lalu marmut mengeluarkan kotoran, kotoran menjadi pupuk alami bagi tanaman/rumput, rumput dan tanah menjadi subur, lalu marmut memakan kembali rumput/tanaman tersebut, dan begitu seterusnya.
   
     6. Mengganti PC dengan Laptop.
Kebutuhan komputer untuk mendukung aktifitas sehari-hari sudah tidak bisa dihindari lagi, apalagi saya juga senang bermain game komputer. Tapi komputer (PC) memakan konsumsi Listrik yang tidak sedikit, untuk PC saya pribadi kurang lebih memakan 650watt (termasuk monitor), cukup besar memang karena spesifikasi komputer yang saya gunakan untuk bermain game.

Dengan menggunakan Laptop, kami menghemat cukup signifikan. Konsumsi listrik dari sebuah Laptop hanya 10% dari sebuah PC kami, yaitu hanya sekitar 65watt.


     7. Menggunakan Sepeda untuk kendaraan ke Kantor atau tempat aktifitas lainnya.
Kebetulan saya memang Hobby bersepeda dan jarak ke rumah dan kantor saya tidak terlalu jauh, kurang lebih 17km. Dengan rute yang biasa saya lalui, bersepeda tidak memakan waktu yang lama, hanya kurang dari 1 jam, hampir sama dengan kalau saya naik sepeda motor.

Selain lebih menyehatkan, bersepeda ke kantor lumayan dapat menghemat uang bensin.

Demikian tulisan Blog saya, semoga dapat menjadi inspirasi anda untuk dapat juga membuat Rumah Ramah Lingkungan, demi kebaikan kita semua dan lingkungan tempat kita tinggal.

Salam