Friday 23 September 2011

Gelar pendidikan tidak menjamin kesuksesan karir...

Kenapa tiba-tiba tulisannya berbau kayak motivator? Eits, sebentar dulu... (Jujur saya paling eneg sama motivator atau mereka yang cuma bisa menjual harapan-harapan manis dari mulutnya...)
Ini sama sekali ga ada hubungannya dengan motiv(b)asi... Ini cuma sekedar cerita berbagi pengalaman sukses (walaupun saya tau, menurut dia pasti dia belum mencapai sukses, tapi saya memandang dia cukup sukses apabila menilik dari sejarahnya)....

Cerita ini adalah cerita tentang kakak ipar saya...
Sore ini ketika saya berkunjung ke rumahnya, tiba-tiba handphonenya bunyi. Berhubung posisinya sedang makan, maka dia pun mengaktifkan loudspeaker handphone... Rupanya si penelpon adalah telemarketer kartu kredit yang sedang menawarkan promo produk, karena tertarik dengan promonya maka akhirnya dia pun menanggapi penawaran-penawaran si telemarketer tersebut sampai pada akhirnya si telemarketer tersebut meminta data-data diri kakak ipar saya... Kurang lebih seperti ini percakapannya:
...
Telemarketer (TM): "ada alamat email pak, nanti form akan kami kirim via email?"
Kakak Ipar (KI): "oooh ada... bla-bla-bla-bla@bla-bla-bla.com" (untuk kepentingan bersama, alamat email sengaja saya samarkan"
TM: "baik pak, bapak sekarang bekerja di perusahaan apa?"
KI: "di PT bla-bla-bla tersebut..."
TM: "sudah berapa lama pak bekerja di PT tersebut?"
KI: "sekitar 2-3 tahunan ya..."
TM: "sebagai apa pak?"
KI: "direktur..." (sengaja dijawab singkat-singkat karena sambil mengunyah makanan)
TM: "oooh baik.... perusahaannya bergerak di bidang apa pak?"
KI: "kontraktor"
TM: "omzet pertahunnya berapa pak kalo boleh tau?"
KI: "eeeerrrr... kemarin sih 10M ya..."
TM: "ooh baik... pendidikan terakhir bapak apa pak?"
KI: "SMP..."
..... (sempat agak hening sebentar sampai akhirnya sang telemarketer melanjutkan pembicaraannya...)...

Ya memang kakak ipar saya hanya lulusan SMP, sampai kini tidak bisa berkomputer, tidak bisa bicara bahasa inggris, namun menjadi direktur atas perusahaan yang dibuatnya sendiri dengan modalnya sendiri.
(bandingkan dengan kebanyakan anak-anak generasi masa kini yang high tech, fasih berbahasa inggris, bahkan lebih fasih bahasa asing daripada bahasa Indonesia, namun hanya omong kosong belaka, tidak banyak yang punya kontribusi berarti bahkan cenderung konsumtif)
Usianya pun bisa dibilang relatif mudah, pertengahan 30an, mempunyai seorang istri, seorang anak yang lucu dan penurut, punya sebuah mobil sederhana, rumah mungil di salah satu cluster di Tangerang, punya sebidang kebun jati di kampung halaman, sebidang tanah di pinggiran ibu kota (dan aset-aset yang tidak diketahui lainnya). Namun semua hal-hal tersebut tidak serta membuat dia sombong. Penampilannya pun biasa saja. Istrinya pun juga biasa saja (mungkin tidak seperti ibu-ibu lain yang bersuami kaya yang lantas suka bersolek dan bersosialita) pekerjaanya tetap memasak masakan untuk bekal suami kalau beraktivitas dan mengurus anak yang energinya luar biasa. Tetap menjadi sebuah keluarga yang sederhana....
Bahkan ketika tadi siang saya ikut meeting tender dengan kakak ipar saya, di sela-sela meeting dia sempat ngobrol ringan dengan rekannya... Yaitu adu murah-murahan baju... Rp. 40.000 vs Rp. 25.000...

Namun dibalik semua itu terdapat sebuah perjalanan panjang yang penuh cobaan... Dia pernah cerita ke saya bahwa waktu sekolah SMP dulu, dia pernah jadi kuli aspal untuk tambahan uang sekolah dan biaya adik-adiknya. Perjalanan untuk menjadi kuli aspal pun juga tidak mudah, dia harus menaiki sepeda Onthelnya ke lokasi proyek yang berjarak sekitar 20km dari rumahnya (dan lokasi rumah tersebut penuh dengan tanjakan).

Selepas SMP dia langsung hijrah ke Jakarta, bekerja untuk mencari tambahan uang untuk orang tua dan adik-adiknya yang masih sekolah. Pekerjaan pertama di Jakarta adalah menjadi pembantu di seorang pengusaha kaya. Salah satu tugasnya adalah memandikan dan memberi makan anjing-anjing dan monyet peliharaannya...
Lalu pernah juga menjadi sales obat ikan dan keripik. Juga pernah menjadi penjual ayam goreng. Sampai pada akhirnya dia memiliki cukup modal untuk membeli lapak di pinggir jalan untuk berjualan tanaman. Dari tanaman inilah dia mulai belajar bagaimana berbisnis dalam skala lebih besar, menjadi supplier untuk perusahaan lain. Sampai akhirnya cukup modal untuk membuat sebuah PT.
Setelah PT berdiri pun juga tidak serta mudah, cobaan demi cobaan dari ditipu klien hingga ditipu pegawai sendiri juga pernah dialaminya. Namun semua hal itu tidak membuatnya putus asa, malah kebalikannya proyek demi proyek berdatangan...

Jika anda melihat langsung sosoknya yang sederhana, mungkin anda sendiri tidak percaya kalau ternyata orang yang anda lihat tersebut merupakan seorang pengusaha dengan omzet puluhan milyar.
Orang seperti kakak ipar saya tidak sendiri, saya mengenal satu lagi seorang pengusaha telur kaya raya di kampung halaman istri saya.
Pada mulanya dia hanyalah seorang kuli peternak telur, dengan pekerjaan sehari-hari selain mengangkut hasil panen juga membersihkan kotoran ayam. Rumahnya pun hanya terbuat dari bilik (gedheg). Sampai akhirnya karena karena kerajinannya, bosnya memberikan modal 300 ekor ayam untuk dikelola sendiri. Perlahan ayam-ayam tersebut dikelola, sampai pada akhirnya kini ayamnya sudah mencapai jutaan ekor tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Rumahnya besar-besar dan ada beberapa (bayangkan dengan ukuran setara rumah di wilayah Pondok Indah), truknya pun puluhan... Namun hal itu tidak serta merta membuatnya sombong. Pada saat pernikahan kami beberapa bulan lalu, dia terlihat menjadi rewang tamu, yaitu orang yang bertugas melayani dan menjamu tamu yang hadir, mulai dari mempersilahkan duduk, hingga mengambilkan hidangan makan. Padahal kalau dipikir-pikir dia itu termasuk salah satu orang terkaya di kabupaten dan juga mantan bosnya istri saya, tapi masih mau untuk melakukan hal-hal seperti itu...

Cerita saya diatas bukan bermaksud untuk menyepelekan pendidikan dan (hanya) bergantung pada kerja keras dan nasib... Sama sekali bukan itu...
Bagaimanapun juga pendidikan itu penting, penting untuk wawasan ilmu dan wawasan umum lainnya.
Tapi yang membuat saya tidak setuju adalah orang yang membudak dirikan pada gelar, bahkan ada yang dibela-belain sampai beli gelar, menyewa joki dan hal-hal curang lainnya....

Pertanyaannya adalah.... Untuk Apa?

No comments:

Post a Comment